Jadilah Alat Sejarah
AMANAT
PRESIDEN SOEKARNO
PADA
ULANG TAHUN
PROKLAMASI
KEMERDEKAAN INDONESIA,
17
AGUSTUS 1953 DI JAKARTA
Saudara Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat!
Tuan-Tuan dan
Nyonya-Nyonya!
Seluruh rakyat Indonesia, dari
Sabang sampai ke Merauke!
Terlebih dahulu saya
mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas pidato saudara Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat, yang tadi saya dengarkan dengan penuh minat. Pidato saudara Ketua itu
berisi banyak sekali petunjuk-petunjuk dan anjuran-anjuran yang amat berharga
bagi kita dalam menempuh masa yang mengandung banyak kesukaran ini. Dengan itu,
ia memberi keyakinan kepada kita, bahwa betapapun besarnya kesukaran-kesukaran
yang kita hadapi itu, Insya Allah kita akan dapat mengatasinya di masa yang
akan datang. Keyakinan yang demikian itu pantas kita hidupkan dalam kalbu kita,
pada hari bersejarah seperti sekarang ini.
Ya, hari sekarang ini
adalah hari yang bersejarah: Kemerdekaan kita sekarang berusia delapan tahun;
ia sekarang berusia satu windu, satu hitungan waktu yang besar artinya dalam
pengertian jiwa Indonesia.
Banyak masih cacatnya,
banyak masih kekurangan-kekurangannya, tetapi ia telah berusia satu windu!
Pantas kita menundukkan kepala kita dalam rasa terima kasih kepada Tuhan, yang
telah melindungi kemerdekaan kita itu sampai saat sekarang, satu windu lamanya.
Tidakkah pernah ada bangsa-bangsa lain, karena kekurangan-kekurangan dan
kesalahan-kesalahan sendiri, mengalami kemerdekaan hanya buat waktu yang tidak
lama saja? Pernah fihak kolonial "meramalkan", bahwa Republik kita
ini tidak akan tahan 8 minggu lamanya. Tetapi sekarang ternyata bukan delapan
minggu, bukan delapan bulan, tetapi delapan tahun telah usianya!
Dan jikalau diberkati
Tuhan, bukan delapan tahun saja nanti usianya, tetapi delapan puluh tahun,
delapan ratus tahun, dan demikian seterusnya.
Memang satu windu dalam
sejarah hanyalah satu hari, dalam samuderanya Tawarich hanya lah satu
riakan-ombak. Karena itu, di samping mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, marilah
kita juga memohon kepada-Nya melindungi republik kita ini buat seterus-terusnya!
Dan marilah kita
mengambil juga pengajaran dari masa sewindu yang lampau itu! Di dalam
perikehidupan manusia, windu-pertama adalah masa yang amat penting pula. Boleh
dikatakan, bahwa seluruh hidup seseorang manusia selanjutnya banyak tergantung
dari masa "windu-pertama" itu. Demikianlah kenyataannya, dan demikian
pulalah ujar ilmu paedagogi. Didikan yang baik dalam windu-pertama akan
menumbuhkan manusia yang baik, didikan yang tidak baik dalam windu-pertama akan
menumbuhkan manusia yang tidak baik. Dalam kehidupan manusia seterusnya, maka
perbandingan antara baik dan buruk dalam windu pertama inilah memainkan peranan
yang amat penting. Di dalam perikehidupan kita sebagai bangsa, kitapun dalam
windu-pertamanya kemerdekaan kita itu, mengalami kelananya "baik" dan
"buruk", kelananya "plus" dan "min", kelananya
"tenaga-membangun" dan "tenaga-membinasa", -
kadang-kadang berganti-ganti, kadang-kadang campur-aduk berbarengan laksana
hamuknya elemen-elemen di dalam putaran angin-puyuh. Dan saya kira, kelana ini
akan berjalan terus, oleh karena Hidup memang pada hakekatnya adalah
kelana-hebat antara baik dan buruk, antara plus dan min, antara
tenaga-membangun dan tenaga-membinasa. Apalagi bagi perikehidupan sesuatu
bangsa, yang sendiri telah terdiri dari ratusan, ribuan, milliunan, unsur-unsur
yang baik dan yang buruk!
Tidakkah seorang
pemimpin bangsa pernah berbicara tentang "the
dancing star of freedom", -
"bintang kemerdekaan yang berkelana"?
Bagi kita soalnya
ialah: mana yang nanti lebih kuat, -
mana yang nanti kita bikin lebih kuat, -
yang baikkah, atau yang buruk? Yang pluskah atau yang min? Yang membangunkah
atau yang membinasa? Manakala yang baik kita bikin lebih kuat, kita akan
selamat. Manakala yang buruk kita bikin kuat, kita akan binasa. Marilah yang
baik kita bikin lebih kuat, sebab kita tidak mau binasa!
Marilah kita kenangkan
kembali hari-hari dan bulan-bulan pertama daripada Revolusi kita. Pada waktu
permulaan Revolusi kita itu, terasalah dengan amat mendalam adanya hubungan jiwa
yang erat antara segenap bangsa kita: antara pemimpin dan pemimpin, antara
pemimpin dan rakyat, antara rakyat dan rakyat. Hubungan jiwa itu adalah laksana
semen yang menyatukan berjuta-juta pasir menjadi satu benteng beton yang
maha-kokoh. Benteng beton ini telah bertahan menggagalkan hantaman-hantaman
palu-godamnya musuh. Bahkan musuh sendiri pecah kepalanya terbentur beton yang
maha-kuat itu! Sampai sekarang, masih terasa berdebur-debur darah kita dengan
kebanggaan, kalau kita ingatkan kembali perbuatan-perbuatan kepahlawanan,
perbuatan-perbuatan herois, yang telah diperlihatkan oleh rakyat kita di waktu
itu beserta pemimpin-pemimpinnya. Satu tekad membakar hati setiap orang pada waktu
itu, satu tekad, yaitu tekad: Merdeka! Tetap Merdeka! Merdeka buat
selama-lamanya! Padahal di muka terlihat bahaya, di belakang terlihat bahaya,
di kanan dan kiri terlihat bahaya, tetapi tidak seorangpun gentar, tidak
seorangpun mundur selangkah atau berkisar sejari!
Ingatkah kita kepada
hari 19 September 1945. Ratusan ribu rakyat berkumpul di lapangan Ikada di muka
di sini, mempertahankan proklamasi, meskipun bayonet-bayonet Jepang tak bisa
dibilang banyaknya, puluhan mitraliur dan puluhan tank Jepang hendak
menghalang-halanginya.
Ingatkah kita kepada
hari 5 Oktober 1945. Dekrit pembentukan Angkatan Perang, sebagai alat
mempertahankan kemerdekaan dengan tenaga physik yang minta kerelaan tertumpahnya
darah dan pecatnya nyawa, disambut oleh ratusan ribu pemuda-pemuda kita dengan
kegembiraan yang tak kecampuran bimbang, kegembiraan yang tak kecampuran perpecahan,
sebagai akibat mempersoalkan sistim pertahanan atas dasar macam-macam teori yang
beraneka warna. Waktu itu hanya ada satu teori, dan teori itu adalah amat
sederhana, yaitu bagaimana menghimpun kekuatan rakyat menjadi satu kekuatan
physik yang rela bertempur, rela menderita, rela berkorban, rela mati entah di mana
dan entah kapan.
Ingat kita pada hari 10
Nopember 1945. Hari Pahlawan mengkilat pada 10 Nopember 1945 itu, hari yang di
Surabaya menggegar pernyataan: ya, kalau kedaulatan kita dilanggar, kita tak
mementingkan nama nasionalis atau nama alim ulama, kita tak mengkhususkan kita
ini pemuda atau kita orang tua, -
kita semua sedia mempertahankan bersama kedaulatan kita itu dengan badan kita
dan darah kita dan jiwa kita sekalipun!
Lihat saudara-saudara, -
tiga puncak kejadian dalam tahun kemerdekaan kita yang pertama itu. 19
September '45, 5 Oktober '45, 10 Nopember '45, ketiga-tiganya gilang-gemilang!
Gilang-gemilang karena memancarkan kemurnian dan keikhlasan, keutuhan kemauan,
keutuhan jiwa dari seluruh bangsa kita. Sesudah tahun 1945 silam datanglah
tahun 1946, dan tahun 1947, dan tahun 1948, dan tahun 1949. Datanglah apa yang
dinamakan "Zaman Jogya". Sebagai satu keseluruhan, Zaman Jogya ini
tampak gilang-gemilang: kegemilang-gemilangannya satu bangsa yang mengadakan
perlawanan herois terhadap usaha-usaha pembinasaan yang negatif dari luar:"usaha
Belanda untuk meremukredamkan Republik, dengan aksi militernya yang kesatu dan
kedua, blokade ekonominya yang hendak mencekek samasekali, politik federalnya
yang hendak mengepung kita secara politis, "kinepung wakul binoyo
mangap". Tetapi jika dipilah-pilah secara kasar-kasaran saja, maka setiap
orang dengan mudah dapat melihat, bahwa Zaman Jogya itu merupakan satu
rangkaian peristiwa-peristiwa yang silih berganti melukiskan timbul-tenggelamnya
keutuhan jiwa kita. Ya benar, Syukur Alhamdulillah Tuhan Yang Maha Asih di waktu
itu selalu menunjukkan kepada kita jalan yang harus kita tempuh untuk
menyelamatkan keutuhan jiwa kita, tetapi tak dapat diungkiri bahwa di Zaman
Jogya itu jiwa kita tidak lagi sebegitu utuh seperti di tahun 1945: Telah ada
saat-saat "peraneka-warnaan" di Zaman Jogya itu, -
tetapi ini adalah normal; ada saat-saat "perpisahan-perpisahan", -
dan ini adalah kurang baik; tetapi ada pula saat-saat
persengketaan-persengketaan sengit dan pertentangan-pertentangan tajam yang
sampai kepada kollisi (pertaberakan), -
dan ini adalah membahayakan.
Kita masih ingat kepada
suasana hangat pada waktu menghadapi Linggajati dalam tahun 1947 dan Renville
dalam tahun 1948. Dalam alam demokrasi, itu masih belum terlalu luar-biasa.
Tetapi peristiwa yang sudah membahayakan ialah peristiwa yang biasa disebut
"Peristiwa 3 Juli". Peristiwa ini adalah satu contoh daripada satu diferensiasi
(pemisah-misahan) yang telah menjadi-jadi ke arah perpecahan yang membahayakan.
Sebabnya tidak lain, ialah karena perbedaan-perbedaan pandangan dalam mengejar
tujuan kita yang sama itu, terlalu dipertajam. Dipertajam dengan cara lebih
daripada ukuran sewajarnya di dalam alam demokrasi, yang memang menjunjung
tinggi azas kemerdekaan berfikir, kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan bicara.
Memang peraneka-warnaan pandangan pada waktu menghadapi sesuatu masalah besar
adalah tanda adanya hidup. Memang peraneka-warnaan pandangan di alam manusia
adalah tanda adanya dinamik berfikir, bunga rampainya demokrasi, polycolornya
pekerti insani.
Tetapi manakala
peraneka-warnaan pandangan itu menjadi-jadi, meruncing-runcing, mentajam-tajam,
mengekses menjadi potensi-potensi bahan-ledak, bahkan meledak menjadi
ledakan-ledakan yang hantam-menghantam satu sama lain, maka ia bukan lagi suatu
tanda pertumbuhan atau satu tanda demokrasi yang sehat, melainkan menjadilah ia
sudah gejala-gejala desintegrasi, gejala-gejala kebengkahan dan kerongkatan,
gejala-gejala daripada mungkin menyusulnya nanti keguguran dan keruntuhan.
Ya, Peristiwa 3 Juli
adalah menyedihkan, tetapi lebih menyedihkan lagi adalah apa yang dinamakan
"Peristiwa Madiun". Dalam peristiwa ini darah mengalir terus, saudara
membunuh saudara. Potensi Nasional hampir hancur samasekali oleh karenanya. Kontan
tiga bulan sesudah pecahnya Peristiwa Madiun itu, mulailah Belanda dengan aksi
militernya yang kedua!
Dus: di Zaman Jogya
kita telah menemukan pengalaman-pengalaman yang merupakan kesedihan-kesedihan
nasional. Kesedihan-kesedihan nasional itu mengajar kita kepada, supaya di kemudian
hari kita lebih waspada di dalam menghadapi berkembangnya perbedaan-perbedaan
pandangan dalam masyarakat kita. Bagaimanapun, persatuan nasional harus dijaga.
Diferensiasi adalah memang tanda hidup dan tanda tumbuh, tetapi antagonisme yang
dipertajam akan membawa kehancuran. Harap ini selalu kita camkan di dalam
kalbu.
Tetapi sebagai satu
keseluruhan, kukatakan tadi, Zaman Jogya adalah masih gilang-gemilang.
Kukatakan tadi pula apa sebabnya: sebab negatif yang datang dari luar, yaitu
agresi ekonomis, politis dan militer dari fihak Belanda. Tetapi ada pula
sebab-sebab positif yang datang dari dalam:
Yaitu bakat persatuan,
bakat "gotong-royong" yang memang telah bersulur-akar dalam jiwa Indonesia,
ketambahan lagi daya-penyatu yang datang dari azas Pancasila.
Ya, tidakkah sebenarnya
pertentangan-pertentangan itu dapat terlalu meruncing dan terlalu menajam
karena kelengahan kita sendiri? Kelengahan, bahwa Revolusi kita ini ialah Revolusi
Nasional. Revolusi yang syarat mutlak untuk berhasil ialah anti-imperialis yang
ada dalam bangsa itu? Socio-historis pertentangan memang selalu ada, tetapi
dalam suatu Revolusi Nasional adalah satu kesalahan besar terlalu meruncing-runcingkan
dan mempertajam-tajamkan pertentangan itu. Inilah yang kita lengahkan. Di dalam
kita mencari jalan yang hendak kita tempuh, kita menjadi kabur-mata di dalam
melihat inti-persoalan itu, karena mata kita telah diselimuti oleh nafsu-nafsu
"ingin menang" bagi golongan-sendiri, "ingin menang" bagi
faham sendiri, bahkan "ingin menang" bagi kepentingan diri sendiri.
Akibatnya ialah, bahwa kita kadang-kadang terlalu jauh menyimpang dari dasar-asli
yang kita semuanja, ya, dari golongan apapun, berdiri di atasnya pada saat
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Augustus '45.
Terlalu jauh menyimpang
dari dasar Pancasila, yang telah memungkinkan terpadunya segenap
kekuatan-kekuatan bangsa menjadi satu Kekuatan Revolusi Nasional.
Tetapi sebagai
kukatakan tadi, syukurlah kepada Tuhan, bahwa pada saat-saat yang gelap itu
kita selalu diingatkan kembali kepada dasar-asli Pancasila itu. Dengan
demikian, hamuknya nafsu pertentangan dapat diredakan. Dengan demikian, kehancuran
nasional dapat dihindarkan.
Juli 1947 terjadi
"Peristiwa 3 Juli", 17 Augustus 1947 kita semua telah membaharui
tekad Pancasila. September 1948 terjadi "Peristiwa Madiun", permulaan
1949 di Jawa Timur ditumpeslah satu usaha untuk mengadakan pemerintahan sendiri
dan mulailah di seluruh wilayah Republik satu perjoangan gerilya dan total
melawan agresi Belanda di bawah panji-panjinya Pancasila. Di sini kita melihat
makna yang sangat dalam daripada Pancasila itu. Bangsa Indonesia harus bersyukur bahwa sejak
permulaan Revolusinya ia sudah mempunyai satu mimbar-bersama untuk berpijak. Di
atas persada Pancasila itu segala pertentangan menjadi reda. Dari dalamnya
membual satu sumber kekuatan regenerasi, kekuatan bertumbuh-kembali, daripada
persatuan dan kekuatan nasional kita.
Dengan adanya sumber
ini, ternyata kita mampu melintasi lautan kesulitan dan kesukaran sebagai
akibat pertentangan-pertentangan dari dalam yang kulukiskan tadi, dan
hantaman-hantaman dari luar yang berupa blokade, pengepungan politik, pemfitnahan
internasional, hujan apinya meriam, bom dan dinamit. Ternyata kita dengan adanya
sumber itu mampu mengarungi lautan kesedihan sampai kita mencapai pangkalan yang
kesatu: pengakuan kedaulatan kita pada tanggal 27 Desember 1949.
27 Desember 1949 Zaman
Jogya berakhir. Datanglah zaman Jakarta lagi, -
1950. Hilanglah buat sebagian baji-baji dari luar yang selama ini selalu
mencoba memecah-belahkan antara pemimpin dan pemimpin, pemimpin dan rakyat,
rakyat dan rakyat, daerah dan daerah. Perpisahan antara kaum federal dan kaum
Republik yang dibuat-buat oleh fihak politik Belanda itu, tersapu musnahlah
samasekali oleh persatuan bangsa. Susunan federasi yang dibuat-buat oleh fihak
Belanda dengan ongkos miliunan-miliunan, sekali lagi miliunan gulden itu,
ludes-lenyaplah diganti oleh susunan Kesatuan kembali, delapan bulan sesudah
politieke-machtnya Belanda ditarik kembali. Susunan federasi itu ternyata tidak
dapat bertahan, karena tidak berkumandang di dalam lubuk hatinya Rakyat.
Semangat Kesatuan Indonesia-lah dan Tenaga Kesatuan Indonesia-lah yang meniupnya
habis laksana taufan, Semangat Kesatuan Indonesia-lah yang menang dalam
perjoangan raksasa yang bersejarah ini. Lihatlah, betapa besar maha-potensinya
apa yang dinamakan "Nasional" itu! Nationale Geest, Nationale Wil,
Nationale Daad! Nationale Geest menang! Nationale Wil menang! Nationale Daad
menang! Menang, sekali lagi menang! -
Asal saja ia benar-benar Nasional, benar-benar meliputi sekujur tubuh bangsa
kita yang 80.000.000, benar-benar meliputi sekujur tubuhnya natie dari Sabang
sampai ke Merauke, dan tidak terpecah-belah atau hanya mengenai segolongan dari
bangsa kita saja! Lihat! Sekali lagi, betapa besar kuasanya maha-potensi Nasional
itu dalam menghantam-hancur segala potensi-potensi-kolonial lain-lain yang
masih hendak beroperasi terus di halaman tanah-air kita: Bukan saja susunan
federasi terhantam hancur-lebur oleh Semangat Nasional dan Tenaga Nasional itu,
-
tetapi agresi banditisme Westerling-pun olehnya terhantam hancur-lebur, coup
d'etatnya Sultan Abdul Hamid-pun terhantam hancur-lebur, pemberontakan Andi
Azis-pun terhantam hancur-lebur, bahkan Kontra-Revolusinya Soumokil-pun
terhantam hancur-lebur! Karena itu, saudara-saudara, buat sekali dan seterusnya,
-
berpeganglah teguh kepada dasar Nasional itu, seperti dulu kamu berpegang teguh
kepadanya di saat Proklamasi pada tanggal 17 Augustus 1945!
Sepantasnyalah dan
sebenarnyalah kita bersyukur kepada Tuhan bahwa Ia telah memberi kepada kita
pengalaman-pengalaman baik tentang kenasionalan itu, dan laksana mekarlah hati
kita dengan rasa kebanggaan, kalau kita mengenangkan buah-buah-baik dari
kenasionalan itu!
Tetapi ... sayang
seribu sayang, rasa bangga itu masih kecampuran rasa sedih, kalau melihat bahwa
belum semua sisa-sisa nafsu-salah telah tersapu bersih, melainkan masih ada saja
sisa nafsu-salah yang berkloget-kloget hendak muncul kembali, mencoba-coba
hendak menggerogoti keselamatan Negara kita ini dari dalam.
Apakah sisa-sisa
nafsu-salah itu? Tak lain tak bukan ialah adanya gerombolan-gerombolan yang
mengacau Negara dan masyarakat kita.
Ada
gerombolan-gerombolan-bersenjata yang laksana rayap hendak melapukkan
tiang-tiangnya Negara sendiri. Ada
gerombolan Darul Islam Kartosuwiryo dan T.I.I. - nya, ada malahan yang memakai
pimpinan orang-orang Belanda, ada gerombolan Bambu Runcing, ada gerombolan
Kahar Muzakkar. Ada
gerombolan Merapi-Merbabu-Complex. Ada
pula gerombolan-gerombolan yang bersifat banditisme semata-mata. Tetapi juga ada
gerombolan-gerombolan yang zogenaamd "berideologi" pun adalah terdiri
dari orang-orang yang fikirannya sudah liar dan kacau samasekali, orang-orang yang
sebagai kukatakan dalam pidato 17 Augustus tahun yang lalu adalah laksana
vliegwiel-vliegwiel yang terlepas dari mesinnya Revolusi, vliegwiel-vliegwiel yang
melesat beterbangan membabi-buta ke kanan dan ke kiri.
Mereka menjadi
orang-orang yang fikirannya sudah keblinger samasekali, -
mereka tidak berdiri lagi di atas sesuatu daratan yang pantas dinamakan daratan
idiil. Mereka menjadilah orang-orang yang mengira bahwa pengacauan yang mereka
lakukan itu adalah pengabdian kepada rakyat. Penggedoran-penggedoran harta
benda rakyat miskin dilihatnya sebagai pengabdian kepada rakyat. Pembakaran-pembakaran
rumah rakyat yang mereka lakukan, dilihatnya sebagai pengabdian kepada rakyat.
Penganiayaan dan pembunuhan
kejam terhadap rakyat yang tidak berdosa, dilihatnya sebagai pengabdian kepada
rakyat. Penggulingan-penggulingan keretaapi yang berisi penumpang-penumpang
rakyat perempuan, kanak-kanak dilihatnya sebagai pengabdian kepada rakyat. Nyata
mereka telah tidak dapat membedakan lagi antara cita-cita yang tinggi dan nafsu
yang rendah. Tidak dapat membedakan lagi antara baik dan jahat.
Tidak dapat berfikir
lagi dalam istilah-istilah perjoangan kita yang luhur-luhur dan suci-suci,
sebagai sediakala.
Telah berulang-ulang
kita mengajak mereka kembali kepada kehidupan normal sebagai orang-orang Indonesia
yang se-Bangsa, se-Tanahair, se-Negara. Tetapi rupanya jiwanya sudah tak dapat
diajak bicara samasekali. Jiwanya sudah keblinger, sudah beku samasekali.
Rupanya telah menjadi
kehendak Tuhan, bahwa ketenteraman dan ketertiban masih harus kita beli dengan
darah dan penderitaan kita sendiri, -
demikian kukatakan dalam pidato 17 Augustus tahun yang lalu.
Sekarang saya berseru
kepada segenap alat-alat kekuasaan Negara dan segenap rakyat Indonesia untuk berlipat-lipat ganda
lebih bergiat lagi membasmi semua pengacauan-pengacauan masyarakat dan Negara
itu, sampai keamanan terjamin lagi. Kita harus bertindak tegas! Hayo!
Lipatgandakan usahamu!
Basmilah pengacauan itu! Tentara dan polisi harus dibantu oleh rakyat, rakyat
harus membantu tentara dan polisi sehebat-hebatnya. Rakyat harus mengerti,
bahwa gerombolan-gerombolan itu adalah musuh masyarakat, musuh Negara Republik Indonesia.
Negara lain dalam Negara Republik Indonesia
tidak ada, negara lain selainnya Republik Indonesia
tidak ada, negara lain selainnya Republik Indonesia adalah pendurhaka
Proklamasi 17 Augustus '45.
Sekali lagi, hai
tentara dan polisi dan rakyat, perlipatgandakanlah usahamu membasmi pengacauan-pengacauan
itu! Segala jalan harus dilalui. Kalau kata-kata saja tak dapat menyehatkan
jiwa yang keblinger, -
apa boleh buat, suruhlah senjata berbicara satu bahasa yang lebih hebat lagi!
Dalam pada itu, kepada
pemimpin-pemimpin rakyat dan Negara saya merasa perlu menyampaikan beberapa
kata-kata. Soal keamanan bukanlah soal yang sederhana. Soal keamanan adalah
satu soal yang berjalin-jalin, satu soal yang complex. Ia adalah satu soal yang
mengenai seluruh latarannya masyarakat kita dalam Revolusi dan sesudah
Revolusi, satu masyarakat yang "belang-bentong" penuh dengan
kekurangan-kekurangan beraneka-warna. Ia adalah seperti itu syaitan di dalam
dongeng, yang mempunyai bukan saja beberapa bapa, tetapi juga beberapa ibu. Ia
tak dapat kita bunuh, kalau kita tidak membunuh pula semua bapa-bapanya dan
semua ibu-ibunya. Karena itu, manakala saya memerintahkan kepada alat-alat
kekuasaan Negara untuk dengan bantuan rakyat mempergunakan pedang dan bedil,
mortir dan meriam seperlunya, maka kepada pemimpin-pemimpin rakyat dan Negara
saya meminta diperhatikan beberapa hal yang amat penting.
Saudara-saudara, pada
zaman yang dinamakan "zaman pembangunan" ini rakyat masih merasakan
seribu-satu kekurangan. Tetapi satu kekurangan adalah teramat dirasakan, yaitu
kekurangan Kekuasaan Pemerintah, kekurangan Gezag, kekurangan "Kawibawan",
Gezag. Di dalam pidato saya tahun yang lalu saya sudah menyentil hal ini dengan
tegas dan tandas.
Malah pada waktu itu
saya mengatakan, bahwa kita ini bukan saja sedang mengalami krisis moril,
krisis politik, krisis cara meninjau soal-soal, krisis dalam alat-alat
kekuasaan Negara, tetapi juga mengalami krisis Kekuasaan Pemerintah, krisis
"Kawibawan" Kekuasaan Pemerintah, Krisis Kawibawan Kekuasaan
Pemerintah, - Krisis Gezag. Di dalam tiap-tiap
Negara dan tiap-tiap masyarakat yang di dalamnya ada Krisis Gezag, terjadilah
kekacauan dan pengacauan. Di dalam tiap-tiap masyarakat yang gezagnya tidak
ber-"Kawibawan", dan gezag yang tidak ber-kawibawan" adalah
sebenarnya gezag yang menderita Krisis Gezag -
, selalu bangkitlah anasir-anasir yang bertindak menurut ubalnya nafsu-nafsu
sendiri, anasir-anasir yang a-sosial, yang menipu, mencuri, merampok, menculik,
membunuh, dan menjalankan lain-lain kejahatan lagi.
Maka anasir-anasir
a-sosial ini lantas "menular" kepada orang-orang yang baik, menulari
kepada segenap masyarakat di kanan dan kirinya, menulari si Jujur dan si Tulus,
sehingga terjadilah daerah itu satu suasana kedudukan jiwa umum yang abnormal,
satu kegemaran merayah dan menjarah, satu "mentaliteit" -
"mentaliteit van het bendewezen", "mentaliteit brandalan", -
sebagai yang saya sebutkan dalam pidato saya 17 Augustus tahun yang lalu.
Mentaliteit
yang demikian inilah yang telah berada dalam beberapa daerah tanah-air kita.
Benar, pada permulaannya di daerah-daerah itu sekedar adalah golongan-golongan
yang berideologi anti-politik-Negara, sekedar adalah "isme-isme" yang
beroperasi, tetapi tindakan-tindakan mereka yang menamakan dirinya ber-isme
itu, yaitu tindakan merayah, menjarah, menggedor, menculik, membunuh, telah
menularilah jiwanya orang-orang di kanan dan di kirinya, sehingga akhirnya
menjadikanlah tumbuhnya satu "mentaliteit brandalan" itu tadi. Dan
dapatlah menulari jiwanya orang-orang di kanan dan kirinya itu ialah antara
lain-lain karena ketidak-adaan Kawibawan Gezag. Ketidak-adaan "Keangkeran
Gezag".
Dengan lain kata:
karena adanya Krisis Gezag. Karena adanya Gezagsvacuum. Gezags-vacuum selalu
menjadi tempat-permainannya bangsat-bangsat. "Vacuums are the playground
of bandits". Janganlah tidak melihat sebab yang satu ini. Janganlah
seperti bunyi peribahasa Rus: "Ia pergi ke circus, tetapi tidak melihat
gajah". Lihatlah gajah ini, yang berupa Krisis Gezag, Gezagsvacuum itu!
Gezagsvacuum itulah salah satu ibunya ketidak-amanan itu!
Ya, Krisis Gezag dan
Gezagsvacuum. Mengertilah pula hal ini benar-benar! Pemerintah memang ada.
Pemerintah Pusat ada. Pemerintah Daerah ada. Tetapi Kawibawan Pemerintahlah
yang tidak ada. Dengan adanya Pemerintah, belum berarti bahwa dus tidak ada
gezagsvacuum.
Dengan adanya
Pemerintah, mungkin sekali toh ada Gezagsvacuum.
Karena itu, maka
tiap-tiap anggauta dari tiap-tiap alat-pemerintah harus bertindak -
bersikap - berkelakuan (baik di dalam maupun
di luar dinas) sedemikian rupa, hingga dapat benar-benar menjunjung tinggi
Gezagnya, Gezag terhadap umum. Sebab, di negeri kita ini, dengan masyarakatnya
dan rakyat-jelatanya yang masih tulen berjiwa ke-Timuran, Kekuasaan Pemerintah
bukan saja bersinar melalui saluran zahir, tetapi juga saluran batin. Zahir
melalui kekuatan-kekuatan jasmanilah yang riil, seperti tentara, polisi,
pamong-praja, justisi. Batin melalui keunggulan-keunggulan akhlak dan
keluhuran-keluhuran pekerti. Zahir dus melalui "reeele physieke
kracht", batin melalui "zedelijk, geestelijk, verstandelijk
overwicht". Semua orang yang mengemban Kekuasaan Pemerintah semua
"gezagsdragers", -
apa ia bernama lurah, apa wedana, apa bupati, apa gubernur, apa menteri, apa
presiden, apa perwira, apa prajurit, apa agen polisi, apa komisaris, -
semua harus mampu menyinarkan dua sinar Kawibawan itu. Dua-dua sinar ini harus
senantiasa nampak berdampingan, dua-dua sinar itu harus selalu terasa di kalangan
masyarakat!
Jika pada suatu waktu
salah satu dari padanya suram, atau kedua-duanya suram, atau kedua-duanya padam
samasekali, maka timbullah satu keadaan "kegoyangan" dalam masyarakat,
timbullah satu keadaan "labiliteit", yang mengakibatkan kaburnya cara
berfikir tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang baik dan apa
yang tidak baik, apa yang dilarang-oleh-hukum-dan-adat dan apa yang tidak
dilarang oleh-hukum-adat. Maka akhirnya timbullah gangguan-gangguan keamanan
dan ketertiban yang makin lama makin menular-nular, dan makin lama makin menjalar.
Akhirnya timbullah apa yang kita namakan mentaliteit bendewezen atau mentaliteit
brandalan itu tadi!
Menjadi dus: Soal
pembersihan pengacauan yang kita hadapi sekarang ini adalah buat sebagian juga
soal pembersihan diri kita sendiri! Rakyat-jelata kita, juga di daerah-daerah yang
kacau, di mana sedikit banyak orang-orang desa bergabung kepada gerombolan-gerombolan
pengacau, pada hakekatnya, pada asalnya, tetap tidak buruk tabiatnya. Andaikata
rakyat-jelata buruk, maka tentunya dari zaman dulu-dulu mula bendewezen itu
sudah merana-rana. Tetapi tidak! Bendewezen hanya merana di daerah-daerah dan
di periode-periode yang Gezag tidak mempunyai Kawibawan! Di zaman kolonialpun
di desa aman-tertib kalau di desa itu ada Kawibawan Gezag, dan keadaan kacau
dan terganggu, kalau tidak ada Kawibawan Gezag.
Maka dari itu jelaslah
bahwa Kawibawan Gezag itulah satu soal yang samasekali lepas dari soal kolonial
atau tidak kolonial, demokratis atau tidak demokratis, nasional atau tidak
nasional. Kawibawan Gezag tidak ada sangkut-pautnya samasekali dengan sesuatu
sistim politik. Kawibawan Gezag adalah semata-mata soal "zahir" dan
"batin" sebagai yang saya sebutkan tadi. Ia adalah soal teknik dan
kwaliteit, soal berani bertindak keras kalau perlu, tetapi selalu adil, -
soal "ambtelijke organisatie" yang tepat, soal "ambtelijke
verhoudingen" yang sehat, soal "penentuan tugas" yang tidak
bersimpang-siur, soal keahlian atau vakbekwaamheid, soal controle, soal
verantwoording, soal budi-pekerti, soal kelakuan, soal akhlak, soal
persoonlijkheid.
Karena itu maka tiap-tiap
operasi pembasmian kekacauan harus direncanakan atas segala perhitungan,
disiapkan matang-matang lebih dulu, dilaksanakan dengan tegas dan dalam
hubungan arti seperti yang kukemukakan tadi. Bukan semata-mata berperang dengan
gerombolan-gerombolan pengacau saja, bukan semata-mata mempergunakan bedil dan
meriam membasmi kepada gerombolan-gerombolan pengacau itu, bedil dan meriam itu
sekarang memang ternyata perlu dipergunakan -,
tetapi juga memperhatikan segala sesuatu yang perlu berhubung dengan
"nabehandelingnya" keadaan: penerangan yang luas, perbaikan ekonomi,
pertolongan sosial, pemulihan perhubungan, controle polisionil yang keras tapi
adil dan bijaksana, - pendek kata -
Kawibawan Gezag, sekali lagi Kawibawan Gezag.
Sekianlah
saudara-saudara, kata-kata yang mengenai pemulihan keamanan. Marilah saya
sekarang membicarakan lain-lain hal lagi.
Sebagai kukatakan pada
tanggal 17 Augustus tahun yang lalu, belum pernah kita mengadakan perayaan 17
Augustus yang tidak dalam suasana Negara Kesatuan. 17 Augustus 1945, '46, '47,
'48, '49, semuanya terjadi dalam Negara Kesatuan. Bahkan 17 Augustus 1950 pun
terjadi dalam Negara Kesatuan, oleh karena sistim Republik Indonesia Serikat
pada waktu itu telah lebur dan dikubur mati beberapa hari sebelumnya. Sudah
barang tentu 17 Augustus 1951 dan 1952 pun terjadi dalam sistim Kesatuan, dan
dari sekarang inipun terjadi dalam sistim Kesatuan. Itulah keramatnya
Proklamasi 17 Augustus 1945, kataku setahun yang lalu.
Ya, Alhamdulillah,
sistim ketatanegaraan Kesatuan selalu terselamatkan. Tetapi kesatuan atau
persatuan antara partai-partai politik di tanah-air kita ini tidak selamanya
teramat ideal. Perikehidupan demokrasi parlementer di tanah-air kita ini belum
mencapai tingkat yang lebih ideal.
Belakangan ini
pertentangan-pertentangan politik malahan meningkat-ningkat lagi, sampai
menarik perhatian dunia luaran. Tetapi kendatipun begitu, kalau ada orang yang berani
mengatakan, bahwa rakyat Indonesia tidak becus demokrasi, atau tidak mengikhtiarkan
demokrasi, maka aku tolak omong-kosong demikian itu mentah-mentah!
Orang berkata: di dalam
waktu 3 tahun sesudah dileburnya sistim Indonesia Serikat itu, berulang-ulang
terjadi krisis Kabinet. Ada Krisis Kabinet Natsir, ada Krisis Kabinet Sukiman,
ada Krisis Kabinet Wilopo!
Aku tidak berkata,
bahwa keadaan yang demikian itu adalah keadaan ideal, malahan aku dalam pidato
17 Augustus dua tahun yang lalu telah memperingatkan supaya kita ini jangan
gampang-gampang "main krisis". Tetapi kalau orang berkata bahwa kita
ini tidak becus demokrasi atau tidak mengikhtiarkan demokrasi, maka aku namakan
hal itu nonsens semata-mata, dan malahan aku berkata: di seluruh Asia Tenggara
ini, bahkan membujur sampai ke Asia Magribi, Indonesia-lah negara yang paling
mengikhtiarkan demokrasi! Di sebelah kiri saya sekarang ini duduk
menteri-menteri baru dari Kabinet Ali Sastroamijoyo, bukan Kabinet sulapan
patpat-gulipat tetapi Kabinet hasil daripada perjoangan demokrasi
berminggu-minggu, berbulan-bulan. Ada di antara yang pernah berjabat menteri
sebelum sekarang ini, ada yang belum, ada yang anggauta sesuatu partai, ada yang
tidak, tetapi Kabinet sekarang ini, sebagaimana Kabinet-kabinet yang terdahulu pula
adalah hasil daripada perjoangan demokrasi.
Ada
orang yang mencemooh kita, yang mencemooh saya, bahwa krisis Kabinet yang baru
lalu itu terlalu amat lama berlangsungnya, bahkan katanya memukul record krisis
Kabinet di sejarah parlementer di seluruh dunia. Aku menjawab: wat dan nog? en
wat wilt gij? Lamanya krisis Kabinet yang baru lalu itu adalah justru satu
bukti, bahwa kita ini, bagaimanapun juga, -
bagaimanapun juga, - coute que coute, tidak mau
meninggalkan procedure demokratis-parlementer. Terus, terus pada waktu itu saya
usahakan procedure demokratis-parlementer, terus, meskipun makan waktu
berminggu-minggu, formateur Fulan gagal dan formateur Fulan lainpun gagal, -
terus! Sampai akhirnya formateur yang keempat mencapai hasil. Tidakkah ini satu
bukti bahwa kita benar-benar mengikhtiarkan demokrasi?
Ada
orang lain berkata: keadaan sudah darurat, mestinya Presiden segera
"mengambil tindakan"! Tetapi keadaan menurut pendapatku tidak
darurat, Tuan-tuan! Tuan mau apa? Aku mendirikan Kabinet Presidentil?"
Dengan tegas aku tidak mau mendirikan menyalahi Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia!
Aku membubarkan Parlemen? Aku tidak mau membubarkan Parlemen! Aku menjadi
Diktator? Aku tidak mau menjadi Diktator! Nah, masih adakah sekarang orang yang
mengatakan bahwa kita ini tidak mengikhtiarkan demokrasi?
Ya, kita mengetahui
bahwa demokrasi di Indonesia
belum sempurna dan kita mengakui kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh
krisis-krisis Kabinet" yang kerapkali terjadi itu. Tetapi demokrasi di Indonesia memang mungkin telah bersifat
sempurna, oleh karena Indonesia
memang sedang dalam mencari demokrasinya sendiri yang sesuai dengan jiwa bangsa
Indonesia
sendiri. Demokrasi Indonesia
sedang dalam-pertumbuhan mencari bentuknya sendiri, gayanya sendiri. "Di samping
elemen-elemen yang sama, yaitu elemen-elemen universal dalam azas-azas
demokrasi pada umumnya, maka demokrasi Indonesia
masih harus menemukan elemen-elemen khusus, elemen-elemen spesifik yang
mendasar jiwa dan irama kehidupan politik bangsa Indonesia sendiri.
Adakah elemen-elemen khusus
itu? Ada!
Ambillah misalnya elemen khusus Indonesia "gotong-royong" dan elemen
musyawarat dalam suasana "kekeluargaan". Elemen-elemen ini tidak ada
pada bangsa-bangsa di dunia Barat. Elemen-elemen ini adalah warisan daripada
tradisi jiwa Bangsa Indonesia
turun-temurun berabad-abad, bahkan warisan dari tradisi Indonesia yang pra-Hindu dan
pra-Islam. Cara-bekerja demokrasi Barat yang menggunakan ukuran
"separoh-tambah-satu-itulah-yang benar", tidak seirama dengan jiwa
gotong-royong dan jiwa synthese, bukan jiwa yang hendak menimbulkan pertentangan,
antithese, bukan jiwa yang hendak menimbulkan antagonisme. Jiwa kekeluargaan dan
jiwa synthese inilah yang juga menghidupi falsafah Negara kita Pancasila. Iapun
yang bersemayam dalam kalimat Tantular "Bhinneka Tunggal Ika".
Aku meminta kepada
semua pemimpin bangsa Indonesia
untuk memahami jiwa-bangsa ini sedalam-dalamnya, dan mengamalkannya sebaik-baiknya.
Dalam irama jiwa musyawarat yang mencari synthese atau perpaduan ini, janganlah
hendaknya kita-antara-kita menarik garis-garis-demarkasi seolah-olah berkata:
"ini golonganku, itu golonganmu", -
"sini tempatku, sana
tempatmu"! Demikian itu bukan irama yang mencari perpaduan atau synthese,
melainkan irama yang memisah-misah, iramanya antithese dan antagonisme.
Demikian itu bukan irama Indonesia.
Demokrasi Indonesia bukan
demokrasi yang menarohkan tekanan kata kepada "sini aku, sana kamu" dengan mati-hidup mencari mayoriteit
alias "separoh-tambah-satu-pastilah-benar". Demokrasi Indonesia
adalah demokrasi-masyawarat yang sebenar-benarnya. Pupuklah demokrasi Indonesia
itu, tumbuh-tumbuhkanlah dan subur-suburkanlah dia, -
dia tidak akan menjadi karikatur daripada demokrasi Barat, tetapi akan
membawakan kebahagiaan kepada bangsa Indonesia sendiri, dan malahan akan menjadi
suri-teladan bagi seluruh umat-manusia di seluruh muka-bumi.
Dalam hubungan ini, saya
mendo'a moga-moga Kabinet yang sekarang ini dapat bertindak dengan cepat kearah
pemilihan umum yang telah lama dinanti-nantikan oleh rakyat dan yang
Undang-undangnya telah selesai pembentukannya. Di dalam pemilihan umum itulah
partai-partai akan mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk memperjoangkan
cita-citanya dengan cara yang demokratis, -
demokratis (moga-moga) dalam arti yang kumaksudkan tadi. Dengan pemilihan umum
itu nanti, kita lantas dapat menyusun satu Dewan Perwakilan Rakyat yang lebih
sempurna. Dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang lebih sempurna, kita dapat
menyusun satu pemerintahan yang lebih stabil. Dengan pemerintahan yang lebih
stabil, kita dapat melaksanakan rencana-rencana pembangunan dengan cara yang
lebih continue, - tidak terputus-putus seperti
sekarang, karena terjadinya krisis Kabinet tiap-tiap kali. Karena itulah maka
kita sekalian mengharap-harap dari Kabinet sekarang ini segera dapat
dilaksanakannya pemilihan umum itu!
Saudara-saudara!
Di samping krisis-krisis
Kabinet yang telah saya sebutkan tadi, adalah satu krisis lagi yang juga
meminta banyak dari fikiran dan perhatian kita.
Krisis itu ialah krisis
alat-kekuasaan Negara kita, yakni Angkatan Perang.
Tanda-tanda adanya
krisis ini sebenarnya sudah saya sinyalir dua tahun yang lalu. Dalam pidato
Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1951 sudah saya sebut-sebut adanya krisis dalam
alat-kekuasaan Negara kita itu. Tetapi sejak itu krisis itu malahan makin menjadi.
Akhirnya pada 17 Oktober tahun yang lalu ia memecah menjadi satu peristiwa yang
menyedihkan.
Demikianlah jadinya,
kalau Angkatan Perang ikut-ikut politik!
Padahal Angkatan Perang
tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik.
Angkatan Perang harus berjiwa, -
tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik. Angkatan Perang adalah alat-kekuasaan
Negara, alat-senjata, -
alat, alat, - sekali lagi alat! Alat ini harus
tetap tajam, tetap ampuh, tetap syakti, tidak tergantung dari tangan yang
memegangnya, asal tangan itu ialah tangannya Negara. Senjata Pasupati dari
cerita Mahabharata tetap syakti, di tangan siapapun berada, di tangan Arjuna
atau di tangan Ksatria lain. Senjata Nenggala tetap syakti, di tangan siapapun berada.
Senjata Cakra tetap syakti, di tangan siapapun berada. Senjata Kunta Wijayandanu
tetap syakti, di tangan siapapun berada. Tentarapun sebagai senjata Negara
harus tetap syakti, tetap tajam, tetap ampuh, pemerintah apapun memegangnya,
menurut hasil perbandingan-perbandingan-politik dalam Negara. Dan sebagaimana
Pasupati hilang syaktinya kalau ia retak, Nenggala hilang syaktinya kalau ia
retak, Cakra hilang syaktinja kalau ia retak, Kunta hilang syaktinya kalau ia
retak, maka Angkatan Perangpun akan hilang syaktinya kalau ia retak. Karena itu
harus tegas-tegas dipersalahkan seseorang dalam Angkatan Perang kalau ia
ikut-ikut politik, karena ikut-ikut politik uit
de aard der zaak mendatangkan keretakan didalam Angkatan Perang. Karena itu
pula manakala ada keretakan sedikitpun dalam Angkatan Perang, segala sesuatu
harus diusahakan untuk mengembalikan keutuhan dalam Angkatan Perang. Dan aku yakin,
keutuhan dalam Angkatan Perang itu akan segera kembali, jika modal tenaga pejoang
kemerdekaan tetap menjadi inti-sarinya Angkatan Perang!
Aku mengharap dari
Angkatan Perang supaya ia segera kembali menjadi Pasupatinya Negara.
Di samping itu harus
diusahakan segera terbentuknya satu Undang-undang Pokok Pertahanan, yang akan
menjadi dasar bagi sistim pertahanan kita selanjutnya. Dengan dasar-dasar yang
pasti, maka dapat dihindarkanlah perselisihan-perselisihan yang disebabkan karena
belum adanya pegangan yang tentu dalam mengatur susunan pertahanan Negara.
Saudara-saudara!
Sebenarnya masih banyak
sekali hal-hal yang harus saya ceritakan kepada saudara-saudara hari ini.
Tetapi karena nanti tepat pukul 10, harus kita bacakan Naskah Proklamasi kita
buat kesembilan kalinya, maka baiklah saya bicarakan di sini beberapa hal secara
melompat-lompat saja, dan kemudian membicarakan soal hubungan dengan luar
negeri dan soal Irian Barat.
Kekurangan anggaran
belanja kita yang tadinya Rp. 4.000.000.000,- telah dapat kita perkecil menjadi
Rp. 1.800.000.000,- (tetapi sayang kemudian bertambah lagi) dengan menyesuaikan
kehidupan kita kepada penghasilan Negara yang kurang, dan antara lain pula
dengan banyak mengurangi jumlah import barang-barang kemewahan dari luar
negeri.
Pemasukan beras dari
luar negeripun telah kita kurangi dan kekurangan persediaan beras yang biasanya
kita tutup dengan memasukkan beras dari luar negeri itu, buat sebagian sudah
dapat kita atasi dengan bertambahnya produksi makanan rakyat dalam negeri
sendiri. Sudah barang tentu posisi keuangan kita dan posisi makanan-rakyat kita
masih harus lebih kita perbaiki lagi.
Misi Militer Belanda
berakhir pada tahun ini. Hanya bagi Angkatan Laut ia masih akan berjalan
beberapa bulan lagi.
Sebagaimana tadi telah
saya katakan, Undang-undang Pemilihan Umum sudah disyahkan. Demikian pula
Undang-undang Bank Indonesia,
sebagai usaha penyempurnaan kedaulatan Negara kita di atas lapangan moneter dan
keuangan. Ini adalah amat penting. Dengan tentara Nasional yang kita susun
sendiri, dengan politik moneter dan keuangan yang kita atur sendiri, dengan
politik luar negeri yang kita kemudikan sendiri, maka menjadi lebih bulatlah
kedaulatan Negara kita ini!
Sekarang, bagaimana
hubungan kita dengan luar negeri? Hubungan itu telah kita perluas. Di Amerika
Utara dengan Canada.
Di Amerika Tengah dengan Mexico.
Di Amerika Selatan dengan Brazilia. Di Jerman Barat kita telah membuka
perwakilan di Bonn.
Dengan Republik Rakyat Tiongkok, hubungan diplomatik kita akan segera kita
sempurnakan dengan menempatkan seorang Duta-Besar di Peking. Dan untuk
mengadakan keseimbangan di dalam hubungan-hubungan-diplomatik kita, oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kita telah dikehendaki, supaya dalam tahun ini juga dibuka
kedutaan-besar di Moskow.
Hubungan-hubungan luar
negeri yang cukup berimbang ini mudah-mudahan lebih memenuhi syarat-syarat
politik luar negeri kita yang terkenal dengan nama "politik bebas".
Keseimbangan dalam politik bebas ini, pernah disangsikan waktu kita
menandatangani perjanjian M.S.A. dengan Amerika Serikat. Demikian kuatnya kesangsian
ini, sehingga ia menjadi salah satu sebab jatuhnya Kabinet Sukiman-Suwiryo.
Kemudian, berkat kebijaksanaan Kabinet Wilopo dan suasana yang baik antara
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat, telah dimungkinkanlah
untuk memperbaiki perjanjian tersebut, dari M.S.A. menjadi T.C.A. Dan di samping
itu kita telah berusaha pula menyempurnakan keseimbangan dalam kebijaksanaan
kita memperoleh bantuan-bantuan teknik dari luar negeri: kita telah menjadi
anggauta dari "Plan Colombo". Dan tidak boleh kita lupakan pula bantuan-bantuan-teknik
dari P.B.B. yang telah lama dilaksanakan di Indonesia
dengan perantaraan Badan-badan-khusus P.B.B. yang bekerja di Indonesia.
Dengan gembira kita
menyambut perletakan-senjata di Korea.
Insyaflah dunia manusia
akhirnya, bahwa perselisihan-perselisihan antara bangsa-bangsa dapat juga
diselesaikan dengan cara damai! Syarat penting dalam hal ini ialah suatu
cara-berfikir yang tidak disandarkan kepada Machtspolitiek, suatu cara-berfikir
yang tidak tertuju kepada Politik Menyusun Kekuasaan. Kapan cara-berfikir yang
demikian itu diinsyafi oleh semua orang? Kapan manusia memakai cara-berfikir yang
bersandar atas saling-pengertian, saling-pengakuan, saling-penghargaan daripada
fihak hak-haknya tiap-tiap bangsa dan rasa-rasa-kehormatannya tiap-tiap bangsa?
Salah satu sumber-pertikaian
antara bangsa-bangsa yang perlu dilenyapkan dari muka-bumi selekas mungkin
ialah sumber kolonialisme, nafsu dan praktek menduduki wilayah orang lain.
Selama sumber ini belum dilenyapkan, selama masih ada satu bangsa mengungkung
sesuatu bangsa lain, maka perdamaian tidak akap datang, bahkan tidak akan ada
satu penyelesaian yang bisa bertahan lama. Sebab, hubungan kolonial adalah subyektif
satu hubungan yang menyakiti hati, dan obyektif satu hubungan yang penuh dengan
pertentangan-pertentangan dalam, penuh dengan innerlijke conflicten dan innerlijke
antithesen. Nama apapun yang orang anggitkan untuk hubungan kolonial itu, -
nama "mission sacree"kah, nama "spread of
civilisation"-kah, nama "white man's burden"kah, -
tetap ia hanyalah satu nama saja yang dicari-carikan untuk menutupi perbuatan
melanggar hak, kehormatan dan kedaulatannya sesuatu bangsa lain, sesuatu
perbuatan Machtspolitiek yang hanya mencari Kekuasaan diri sendiri dan keenakan
diri sendiri. Keadaan yang demikian itu, kata saya tadi, subyektif menyakiti
hati orang lain, obyektif penuh dengan innerlijke conflicten. Akibatnya selalu
permusuhan, pertikaian, pemberontakan, peperangan, dan lain-lain. Tidak ada
satu orang bangsa Asia yang tidak membenarkan
ucapannya seorang penulis yang berkata:
"The
white man is a splendid man if he got rid of his burden",
-
"orang kulit putih itu orang yang baik sekali, asal ia tidak membawa apa yang
ia namakan bebannya itu". Kapan "white man" menyedari hal ini,
dan Timur dan Barat dapat berjabatan tangan satu sarna lain sebagai splendid
man dengan splendid man?
Kapan selesai soal
Indo-China? Kapan selesai soal Tunisia,
soal Maroko, soal Pondicherry?
Kapan selesai soal Goa, soal Malaya, soal
Terusan Suez? Kapan selesai soal Irian Barat? Saya berkata soal-soal ini tidak
akan selesai, selama belum dilempar jauh-jauh tiap-tiap nafsu kolonialisme dan
machtspolitiek. Kita bangsa-bangsa Asia -
tidak membenci bangsa kulit putih, kita pada dasarnya adalah "de zachtste volken der aarde",
kitalah yang melahirkan penganjur-penganjur persaudaraan segenap manusia,
kitalah yang melahirkan Budha dan Confucius dan Isa dan Muhammad, tetapi kita
ini setelah tergendam-tidur beberapa abad lamanya, telah menemukan jiwa kita
kembali, kita telah berdiri kembali di atas dasar hak-hak-azasi tiap-tiap
manusia dan hak-hak-azasi tiap-tiap bangsa. Api-kemerdekaan telah menjilat
api-batin kita, "urge for
freedom" telah membakar di dalam kalbu semua bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Dan sungguh, api ini tidak akan suram,
tidak akan mengecil, tidak akan mati, bahkan akan makin hidup dan makin
berkobar-kobar menyala-nyala, sebab api ini adalah api Keramat. Api Panca Sona,
yang sekali ia hidup, tidak akan mati buat selama-lamanya! Kolonialismelah yang
akan mati, imperialismelah yang akan mati, tetapi api ini tidak akan mati!
Kita amat berterima
kasih atas bantuan-bantuan teknis dan bantuan-bantuan materiil yang kita peroleh
dari dunia Barat. Tetapi janganlah orang mengira, bahwa bantuan-bantuan teknis
dan bantuan-bantuan materiil itu saja sudah memenuhi-penuh segala lubuk-lubuknya
hati kita.
"De
mens leeft niet van brood alleen",
-
manusia tidak hidup dari makan roti saja, -
demikianlah dikatakan hampir dua ribu tahun yang lalu oleh seorang Nabi di Asia
Barat, dan geloranya jiwa sesuatu bangsapun tidak seorang akan diam dengan
sekedar barang materiil saja. Tahukah Tuan, manusia itu sering-sering mati buat
apa? What men die for? -
Manusia sering-sering mati, tidak untuk mengejar sesuatu barang materiil, tetapi
untuk membela sesuatu ide, -
untuk menjunjung tinggi sesuatu ide.
Bukalah kitab Sejarah
Dunia, telaahlah isinya dari zaman purbakala sampai ke zaman sekarang, dan Tuan
akan menjumpai bukti kebenarannya perkataanku ini.
Kita bangsa-bangsa Asia sekarang ini buat sebahagian telah mencapai
kemerdekaan, tetapi kemerdekaan kita buat sebagian besar belum bulat
sebulat-bulatnya. Ada yang masih mempunyai soal Goa dan Pondicherrynya, ada yang masih menghadapi soal
Terusan Suez-nya, ada yang masih memperjoangkan kembalinya Irian Barat-nya. Dan
malahan ada lain-lain bagian Asia dan Afrika yang
di sana api nasionalisme masih berkobar-kobar menyala-nyala memperjoangkan
kemerdekaan. Maka bagi kami bangsa-bangsa yang telah bernegara kembali ini,
kami demi perdamaian-dunia dan demi kesejahteraan-dunia yang kita semua
idam-idamkan itu, mengemukakan di sini dengan tegas tiga hal:
Pertama, kami jangan
diganggu-ganggu, bahkan harap dibantu dalam usaha kami membangun negara-negara
kami dan masyarakat kami itu.
Kedua, kami ingin mengadakan
dan memelihara hubungan-hubungan persahabatan yang baik dengan semua bangsa-bangsa
lain dari pelbagai ideologi.
Ketiga, kami tetap
memperjoangkan kemerdekaan bagi bagian-bagian tanah-air kami yang belum
merdeka, dan juga memberi bantuan kepada semua bangsa-bangsa yang lain memperjoangkan
kemerdekaan.
Tiga hal ini tegas.
Tiga hal ini keluar dari dalam lubuk hati kami yang sedalam-dalamnya. Tiga hal
ini kami ucapkan terhadap kepada semua bangsa-bangsa lain di seluruh muka-bumi,
tetapi kami ulangkan pula terhadap kepada seluruh bangsa Indonesia sendiri.
Saudara-saudara
sebangsa janganlah melalaikan Tridharmamu ini!
Tidakkah tiga hal ini
yang kamu telah perjoangkan berpuluh-puluh tahun lamanya dengan mempertaruhkan
segenap ketenteraman-hidupmu, segenap kebahagiaan anak-isterimu, segenap jiwa
ragamu - dengan menentang segala macam
penderitaan dan kepahitan, menentang penjara, menentang pembuangan, menentang
eksekusi-peleton, tiang penggantungan, pengedrelan, bumi-hangus, dan lain-lain
penderitaan lagi?
Pada hakekatnya
Tridharma ini tiada ubahnya dari papa "Tiga Kewajiban" yang sudah
sering saya sebutkan dalam pidato-pidato saya yang terdahulu; pertama menyempurnakan
kemerdekaan sesuai dengan cita-cita nasional, kedua mengisi kemerdekaan sesuai
dengan cita-cita sosial, ketiga menyelamatkan kemerdekaan dalam gelora
internasional. Dan perinciannya kewajiban-kewajiban itupun sekarang makin lama
makin jelas: Organisasi Pemerintahan harus diperkuat. Kawibawan Gezag harus
ditanam: Pengacauan harus lebih giat dibasmi. Angkatan Perang harus segera pulih
kembali menjadi Pasupatinya Negara; produksi makanan-rakyat dan produksi
kebutuhan rakyat lain-lain harus ditambah sebanyak-banyaknya; pembangunan
lain-lain harus dipergiat; pemilihan umum harus lekas diselenggarakan; keuangan
harus dipersehatkan; hubungan Indonesia-Belanda harus lekas diganti dengan
hubungan diplomatik yang biasa; Irian Barat harus lebih aktif diperjoangkan;
segala hasil-hasil K.M.B. yang merugikan kita, hapusnya harus kita usahakan;
Negara Nasional barulah Negara Nasional kalau ia sudah merdeka bulat politik,
ekonomis, dan kulturil! Negara Nasional tak mungkin didirikan di atas dasar-dasar
atau corak-corak yang masih kolonial!
Pekerjaan ini berat.
Tetapi memang kita harus bekerja berat.
Sejak kapan ada Negara
kuat dan masyarakat sehat zonder bekerja berat? Dan -
berat menjadi ringan kalau kita kerjakan bersama-sama dalam persatuan, dan
berat menjadi ringan pula kalau kita senang kepada pekerjaan itu.
Adakah di antara kita yang
tidak senang lagi kepada pekerjaan itu, dan merasa jemu, sambil berkata:
"Sudah satu windu bernegara, kok masih begini saja"?
Ya, sudah satu windu
kini kita bekerja sejak kita ikrarkan Proklamasi, tetapi berapa lamakah satu
windu kalau kita bandingkan dengan perjoangan yang berpuluh-puluh tahun, dan
apa arti satu windu kalau kita tempatkan dalam perhitungannya Sejarah? Pernah
dulu kutirukan perkataan Lincoln
manakala ia berkata: "We cannot
escape history", -
"kita tak dapat melepaskan diri dari sejarah". Wahai, juga kita, juga
engkau, juga aku, juga seluruh bangsa Indonesia, tak dapat melepaskan diri dari
sejarah, - Sejarah, yang dalam abad
keduapuluh ini makin nyata makin tampak menunjukkan coraknya dan arahnya. Ialah
corak dan arah bangkitnya golongan-golongan-manusia yang tertindas dan bangkitnya
bangsa-bangsa yang terjajah, corak-dan-arah Revolusi Kemanusiaan dan Revolusi
Kebangsaan, corak-dan-arah matinya perbudakan dan matinya penjajahan,
corak-dan-arah berdirinya negara-negara di dunia Timur, corak-dan-arahnya persamaan
manusia dan persamaan bangsa.
Dan memang kita bangsa
Indonesia di waktu yang lampau telah benar-benar ikut berjalan dalam
corak-dan-arahnya Sejarah itu, ikut berjalan dalam Maha-Iramanya Sejarah itu,
naik gunung turun gunung, naik gelombang turun gelombang, naik badai turun
badai, naik taufan turun taufan, sampai akhirnya kita datang kepada tempat yang
sekarang ini. Tetapi Sejarah tidak berhenti, Sejarah tidak pernah berhenti, ia
berjalan terus, berjalan terus dengan mengiramakan Maha-Iramanya yang dahsyat
itu, dan lagi-lagi kita "cannot escape history", -
lagi-lagi kita tak dapat melepaskan diri dari jalannya Sejarah itu.
Hayo bangsa Indonesia,
dengan jiwa yang berseri-seri mari berjalan terusl Jangan berhenti, Revolusimu
belum selesai! Jangan berhenti, sebab siapa yang berhenti akan diseret oleh
Sejarah, dan siapa yang menentang corak-dan-arahnya Sejarah, tidak ferduli ia
dari bangsa apapun, ia akan digiling-digilas oleh Sejarah itu samasekali. Kalau
fihak Belanda menentangnya, dengan misalnya tetap tidak mau menyudahi
kolonialismenya di Irian Barat, satu hari akan datang entah besok atau lusa, yang
ia pasti digiling-gilas oleh Sejarah, tetapi sebaliknyapun, kalau engkau
menentangnya, engkaupun akan digiling-gilas oleh Sejarah. Terutama sekali
engkau, hai pemuda-pemudi Indonesia, engkau dari generasi yang sekarang, yang
mungkin belum pernah dengan sedar mengalami ikut berjalan dalam perjalanan Sejarah
itu, sudahkah engkau menginsyafi bahwa segera akan datang saatnya yang engkau juga
harus ikut berjalan? Dan engkau pemuda-pemudi yang sudah ikut berjalan,
sudahkah engkau berasa-berfikir-bertindak sedemikian rupa, sehingga engkau
merasakan dirimu itu seolah-olah hidup dalam obsesi, merasakan dirimu itu
alat-alat Sejarah, alat-alat yang berjiwa, yang dengannya Sejarah itu
menggempur kekolotan dan ketamakan, menggempur perbudakan dan penjajahan,
menggembleng Dunia-Baru buat bangsamu sendiri dan Dunia-Baru buat sekalian
bangsa? Sudahkah engkau semua pemuda-pemudi Indonesia tidak mengutamakan
kepelesiran lagi, sebagai kumintakan kepadamu dua tahun yang lalu?
Revolusi kita belum
selesai, Revolusi mematikan kolonialisme belum selesai, Revolusi Pembangunan
belum selesai. Mari kita semua bangsa Indonesia yang 80.000.000 dari
Sabang sampai ke Merauke berjalan terus.
Dalam satu barisan yang
utuh, tidak terpecah-pecah oleh persengketaan politik, yang akibat-buruk-akibat-buruknya
tertampak nyata dalam pengalaman-pengalaman kita masa yang lalu, marilah berjalan
terus. Berjalan terus, bekerja terus, membanting-tulang terus!
Membanting-tulang secara dinamikanya Revolusi! Jangan kita hendak membangun
Negara modern dan Masyarakat modern dengan kecepatan pedati dan pengetahuan yang
didapatnya tiga puluh tahun yang lalu, pada hal sekarang ini adalah zamannya
kapal-udara-yet dan bom atom!
Jiwa uler-kambang dan
jiwa inlander itulah racun yang menghinggapi kita di tahun-tahun yang akhir
ini. Jikalau ingin merdeka sejati-jatinya-merdeka, milikilah Jiwa yang Merdeka,
milikilah Jiwa yang Besar!
Buktikanlah memiliki Jiwa
Besar itu, Jiwa Merdeka itu, Jiwa yang tak segan bekerja dan memberi. Jiwa
dynamis yang bisa berdiri sendiri di atas kaki sendiri dari hasil usaha sendiri
-
bukan jiwa yang meminta, merintih, mengemis saja ke kanan dan ke kiri, sambil
bermimpi dapat mencapai derajat-penghidupan yang makmur dengan seboleh-bolehnya
tidak bekerja samasekali. Kita tidak hidup di alam impian, kita hidup di alam
kenyataan. Kita tidak hidup di alam sorga, kita hidup di alam dunia. Di alam
dunia itu, untuk semua makhluk besar-kecil, tiada undang-undang lain melainkan
undang-undang yang berbunyi:
"Jikalau mau
hidup, harus makan; yang dimakan hasil-kerja; jika tak bekerja, tidak makan; jika
tidak makan pasti mati"!
Inilah Undang-undangnya
Dunia. Inilah Undang-undangnya Hidup. Mau tidak mau, semua makhluk harus
menerima Undang-undang ini. Terimalah Undang-undang itu dengan Jiwa yang Besar
dan Merdeka, Jiwa yang tidak menengadah, melainkan kepada Tuhan. Sebab kita
tidak bertujuan bernegara hanya satu windu saja, kita bertujuan bernegara
seribu windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya.
Jer basuki mawa beya!
Sekali Merdeka, tetap
Merdeka!
Sekali Merdeka, Merdeka
buat selama-lamanya!
Sekian!
Terima kasih!
No comments:
Post a Comment