Wednesday, 11 June 2014

Gerakan Antikorupsi - Budayakan Gerakan Anti Korupsi

A. PENDAHULUAN
Di era reformasi ini, tekad pemerintah menyelenggarakan pemerintahan yang baik disambut antusias oleh masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu terlebih dahulu korupsi dalam segala bentuknya harus ditanggulangi. Penanggulangan korupsi telah membuahkan hasil berupa timbulnya budaya takut sebagian birokrat untuk melakukan korupsi. Walaupun ini bukan menjadi tolak ukur korupsi sudah tidak ada lagi. Karena pada kenyataannya, kepercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum semakin menurun.

Kini kepercayaan masyarakat dalam penanggulangan korupsi hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi dengan baik. Dengan kewenangan yang ada KPK berhasil membongkar kasus korupsi yang selama ini tidak terjangkau penegak hukum. Namun ditengah keberhasilannya itu KPK menghadapi beberapa kendala: Adanya kesan ketidakharmonisan antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK, KPK dianggap sarat muatan politis, sehingga pembentukan KPK dianggap sebagai solusi sementara, Masyarakat sudah jenuh dengan janji pemerintah memberantas korupsi (Neltje, 2007)

Mencuatnya kasus Antasari maupun Bibit-Chandra membuktikan hal ini, kendala yang dihadapi oleh KPK harus segera diatasi dan dicarikan solusi, jika tidak ingin mengalami kegagalan seperti sebelumnya, bahkan korupsi lebih merajalela dimasa mendatang.  Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik membahas budaya gerakan anti korupsi dalam rangka penanggulangan korupsi, dan peran pemerintah serta KPK.

B. PEMBAHASAN 

1. Budaya dan Penanggulangan Korupsi
Komponen budaya memegang peran penting dalam penegakan hukum pidana. Adakalanya keberhasilan penegakan hukum karena didukung oleh budaya masyarakat, misalnya partisipasi dalam pencegahan kejahatan. Penegakan hukum selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya: pelaksanaannya dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan dari bekerjanya proses dan kekuatan dalam masyarakat. Dengan demikian, hukum menjadi wadah bagi penyaluran proses dalam masyarakat, yang secara teoritis fungsi demikian dapat dilaksanakan.

Sebagaimana kejahatan pada umumnya, korupsi dapat terjadi kapan dan dimana saja, dilakukan baik oleh kalangan atas maupun oleh kalangan bawah. Untuk menanggulangi korupsi maka perlu diketahui faktor penyebabnya. Menurut Alatas (1986), faktor penyebab korupsi adalah: Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan tingkah laku yang menjinakkan korupsi; Kelemahan pengajaran agama dan etika; Kolonialisme; Kurangnya pendidikan; Kemiskinan; Tiadanya tindakan hukum yang keras; Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi; Struktur pemerintahan; Perubahan radikal; Keadaan masyarakat.

Dari berbagai faktor tersebut, maka perlu gerakan membudayakan nilai dan sikap anti korupsi sehingga menjadi motor penggerak bagi bekerjanya hukum. Dalam hal nilai hukum dan sikap anti korupsi dimaksud agar masyarakat tidak mentolerir segala bentuk penyimpangan yang cenderung korup, seperti dirumuskan dalam UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001, terdapat 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dapat dikelompokkan: Kerugian uang Negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi (Ubbe, 2007)
Keterbatasan hukum pidana mengakibatkan tidak semua pelaku kejahatan korupsi dapat diajukan ke pengadilan, tidak jarang meski sampai pengadilan hasilnya adalah putusan bebas dari segala tuntutan hukum, karena syarat pembuktian yang harus dipenuhi menurut UU tidak mencukupi atau kurang memadainya alat bukti.  Hal ini menunjukkan pentingnya sarana penanggulangan lainnya, yaitu sarana pencegah tanpa menggunakan pidana (prevention without punishment).

2. KPK: Ujung Tombak Gerakan Anti Korupsi
Beberapa tahun yang lalu masyarakat dikejutkan dengan kasus korupsi yang terjadi. Kasus tersebut seakan bukti bahwa yang menjadi kendala bagi KPK dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi, dan merupakan rekayasa dari pihak yang tidak senang dengan keberhasilan KPK. Diluar dugaan sebagai reaksi masyarakat telah melahirkan gerakan moral yang dahsyat, yaitu memberikan dukungan kepada KPK untuk tetap melaksanakan tugasnya dalam memberantas korupsi.

Ini adalah momen yang tepat ntuk meningkatkan gerakan anti korupsi dengan membudayakan nilai dan sikap anti korupsi melalui pendidikan formal dan non formal secara berkesinambungan, menanamkan pemahaman bahwa korupsi dalam segala bentuknya adalah perbuatan yang merugikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf d, dan Pasal 13 huruf c, d, dan e dalam UU No 30 Tahun 2002, jelas bahwa KPK bertugas dan memiliki wewenang untuk menyelenggarakan gerakan anti korupsi dan melakukan kampanye anti korupsi dalam rangka melaksanakan tugas pencegahan tindak pidana korupsi, disamping tugas represif atau penegakan hukum pidana.

Kini saatnya masyarakat bangkit melawan korupsi bersama KPK, untuk itu KPK sebagai motivator menjadi ujung tombak dalam penanggulangan korupsi harus ada di setiap wilayah dan dilengkapi dengan sarana serta prasarana yang memadai.  Dengan demikian diharapkan suatu saat nanti timbulnya budaya malu melakukan korupsi dan budaya anti terhadap korupsi dalam masyarakat.  

C. PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
  1. Membudayakan gerakan anti korupsi, adalah upaya yang tepat guna menanamkan pemahaman bahwa korupsi adalah perbuatan yang tercela.
  2. Gerakan anti korupsi menimbulkan budaya malu melakukan korupsi, dan sikap anti terhadap perbuatan korupsi dalam masyarakat.
  3. KPK sebagai ujung tombak gerakan anti korupsi di Indonesia
2. Saran 

Perlu dibentuk lembaga KPK lengkap dengan sarana dan prasarana yang diperlukan pada setiap wilayah agar gerakan anti korupsi dapat berjalan dengan efektif.

No comments:

Post a Comment