Sunday, 1 June 2014

Membangun Pendidikan - Ketika Pendidikan Gratis Disalah Pahami

Ada sesuatu yang apabila dipikirkan lebih mendalam akan menggelitik dan mengusik diri sebagian orang, setidaknya saya pribadi, berkaitan dengan pendidikan gratis di Indonesia. Yaitu ketika pendidikan gratis disalah pahami, disalah manfaatkan dan disalah terjemahkan. Apanya yang disalah pahami, apanya yang disalah manfaatkan dan apanya yang disalah terjemahkan?

Ketika seorang siswa berpikir, “Ah..sekolah gratis ini, tidak ada biaya sekolah,” dan pikirannya mengakar maka bukan tidak mungkin rasa tanggung jawab sebagai siswa akan surut atau bahkan hilang dari dalam dirinya. Tanggung jawab siswa sebagai anak kepada orang tua pun bisa berkurang, saat dirinya beranggapan bahwa orang tua tidak mengeluarkan biaya sekolah untuknya. Padahal seorang siswa sangat perlu memiliki rasa tanggung jawab, baik tanggung jawab sebagai siswa maupun sebagai anak. Jika rasa tanggung jawab ini mulai hilang maka bukan tidak mungkin ia hanya akan menjadi siswa “penikmat bangku” sekolah gratis dan bukan menjadi siswa penikmat pendidikan gratis.

Saya kira tidak sedikit orang tua yang bergembira dengan adanya pendidikan gratis di negeri ini. Namun tak sedikit pula yang hanya sekedar gembira atas hal itu. Di negeri ini, mungkin tak sedikit orang yang kadang hanya berpikir “asal anaknaya bisa sekolah” tanpa melihat perkembangan sekolah anaknya. Orang tua yang memiliki karakter seperti inilah yang berpeluang menyalah manfaatkan pendidikan gratis di Indonesia. Mereka tidak lagi merasa dibebani dengan biaya sekolah, tidak lagi ada rasa jerih payah yang dikeluarkan untuk sekolah anak, atau setidaknya tidak ada lagi perhatian terhadap perkembangan pendidikan anak. Pada akhirnya orang tua berkarakter seperti ini melepas tanggung jawab atas pendidikan anaknya, belajar atau tidak, aktif atau tidak, dan lain sebagainya karena dalam benak mereka adalah “Ah…gak bayar ini”.
Selain dari sisi siswa dan orang tua, dari pihak sekolah juga bisa saja salah dalam menterjemahkan pendidikan gratis, terutama oleh oknum guru yang tak bertanggung jawab. Saya pribadi mengkhawatirkan apabila terjadi penurunan kualitas ajar dari oknum guru (tak bertanggung jawab) setelah digratiskannya biaya sekolah. Kekhawatiran kalau-kalau nantinya guru hanya sekedar menyampaikan materi ajar bukan lagi disertai mendidik dan membimbing serta membina siswa. Khawatir kalau-kalau ada pemikiran “biarin aja, toh siswa gak bayar ini, yang penting materi tersampaikan”. Dan kekhawatiran yang paling menakutkan adalah apabila kekhawatiran tersebut diatas benar-benar terjadi. Bila terjadi maka rusaklah kualitas pendidikan di negeri ini.

Oleh karena itu, mari ambil upaya-upaya agar pendidikan gratis yang bertujuan untuk kebaikan pendidikan di negeri ini dalam rangaka membangun pendidikan Indonesia yang berkualitas tidak di salah pahami, disalah manfaatkan dan disalah terjemahkan. Kita bangun pola “penggratisan” yang bertanggung jawab, atau gratis bertanggung jawab. Dimana setiap “penikmat” pendidikan gratis tidak sekedar menikmati kegratisan tetapi harus bertanggung jawab atas apa yang dinikmatinya. Pendidikan gratis bertanggung jawab yang saya gagaskan adalah sebagai berikut.

Pertama, pendidikan gratis (baca: bebas biaya sekolah) hanya diberikan di tiga atau empat tahun pertama untuk sekolah dasar (SD, MI dan sederajat), satu tahun pertama untuk tingkat menengah baik SLTP (SMP, MTS atau sederajat) maupun SLTA (SMA/SMU, MA atau sederajat) dan untuk tahun berikutnya pendidikan gratis bergantung pada prestasi (nilai) masing-masing siswa dan siswi. Apabila prestasi siswa tidak memenuhi syarat maka tahun berikutnya tidak diperkenankan atau sebaiknya tidak mendapat pembebasan biaya sekolah. Sebab prestasi atau nilai merupakan indikator keseriusan siswa dalam bersekolah. Intinya siswa yang tidak serius sekolah tidak perlu digratiskan.

Kedua, pihak sekolah ikut bertanggung jawab atas prestasi siswa-siswinya. Guru harus tetap serius dalam mengajar, mendidik, membina murid-muridnya. Apabila  dalam prosesnya ada siswa yang prestasinya tidak memenuhi syarat sehingga tidak berhak mendapatkan pendidikan gratis, maka pihak sekolah yang bertanggung jawab. Ini bukan berarti sekolah yang membayar tetapi dengan mengurangi jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atas sekolah yang bersangkutan. Saya kira ini akan membuat pihak sekolah lebih bertanggung jawab dalam proses belajar mengajar.

Akhir kata, jangan sampai tujuan baik tapi memberikan hasil tidak baik. Maka dari itu mari setiap kita ikut bertanggung jawab dalam proses pendidikan di negeri ini. Pemerintah telah memfasilitasi pendidikan gratis bagi rakyatnya, memang hak warga negara tetapi itu bukan hadiah dan cuma-Cuma melainkan melekat tanggung jawab demi pembangunan pendidikan Indonesia.

No comments:

Post a Comment