Monday, 2 June 2014

Membangun Demokrasi - Pemenuhan Hak Warga Negara dalam Demokrasi Indonesia dengan Constitutional Complaint

Sepanjang perjalanan negara yang sudah berumur 68 tahun ini, perpindahan rezim kekuasaan telah silih berganti beserta dengan sistem politik. Mulai dari nasionalis, sosialis, komunis (NASAKOM) Soekarno, diktator otoriter yang diselimuti demokrasi semu oleh Soeharto, serta yang terakhir dan bertahan sampai sekarang adalah sistem demokrasi yang diusung oleh para  mahasiswa pada era reformasi tahun 1998.
Ide dari demokrasi yang digaungkan sebenarnya cukup sederhana, yaitu agar melindungi hak-hak warga negara dalam melaksanakan kebebasan untuk menyatakan pendapat dan melakukan pengawasan terhadap kekuasaan rezim selagi mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan. Demokrasi kita yang telah berjalan hampir kurang lebih 16 tahun sampai menjelang pemilu 2014 mendatang masih dalam masa transisi. Transisi dalam arti bahwa memang demokrasi kita secara politik sudah berjalan, tetapi demokrasi pada tingkat sosial dan ekonomi masih jalan ditempat.

Demokrasi bisa berjalan secara penuh ketika tidak ada lagi ketimpangan sosial ekonomi yang tinggi di dalam masyarakat, karena pada dasarnya sistem demokrasi untuk menyuarakan suara dalam bidang politik juga harus dilatar belakangi oleh kemampuan sosial ekonomi yang memadai.[1] Tulisan George Sorensen dalam bukunya yang berjudul Demokrasi dan Demokratisasi bisa menjadi pembanding cerminan demokrasi yang ideal dengan demokrasi bangsa Indonesia saat ini. Demokrasi Indonesia dalam konteks sistem politik masih banyak terjadi ketimpangan. Ketimpangan tersebut terletak pada pendidikan politik kepada rakyat yang masih sangat kurang dan tingkat sosial ekonomi masyarakat yang masih tidak memadai. Padahal jelas bahwa hak untuk memperoleh pendidikan politik dan ekonomi yang layak dijamin dalam konstitusi.

Lebih lanjut, demokrasi Indonesia hingga saat ini juga masih belum pada tingkat menghormati hak asasi warga negaranya. Padahal konstitusi secara jelas telah mencantumkan bahwa rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak, hak beragama sesuai keyakinan, hak untuk berpendapat, hak berpolitik, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, serta hak mendapatkan kesejahteraan yang dijamin negara. Namun hingga saat ini Indonesia masih belum mampu menjamin hak-hak tersebut, bahkan tidak jarang pula negara malah melanggar hak-hak warga negaranya, hal ini jelas menyalahi konstitusi nasional kita sendiri. Fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia belum berjalan sempurna, karena sejatinya dalam negara demokrasi hak-hak warga negara haruslah di junjung tinggi.

Constitutional Complaint
Constitutional complaint mungkin bisa menjadi senjata bagi masyarakat untuk menuntut haknya yang sudah dilindungi dalam konstitusi sebagai proses yang lebih demokratis. Constitutional complaint sendiri merupakan wujud dari implementasi prinsip check and balances yang mengidamkan negara hukum yang demokratis. Di Indonesia prinsip tersebut tercermin dengan dibentuknya pemisahan kekuasaan pada 3 lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang saling mengawasi satu sama lain, dan yang mengawasi 3 lembaga tersebut adalah warga negara. Consitutional complaint nantinya masuk pada sektor yudikatif sebagai suatu langkah yang dapat ditempuh oleh warga negara yang haknya dilanggar oleh negara. Constitutional complaint juga sebagai salah satu langkah pengawasan.

            Constitutional complaint sudah diterapkan di beberapa negara diantaranya Jerman, Slovenia, Kroasia, dan Korea Selatan. Jerman sebagai negara pertama yang mengimplementasikan hal ini di dalam the basic German Law mencantumkan bahwa, “Every citizen that feels that a state organ, (federal, or regional, legislation, judiciary, excecutive) with an act, breached any of his or her basic rights guaranteed by the federal constitution has the right to submit a constitutional complaint to the federal constitutional court.” Secara sederhana constitutional complaint dapat diartikan sebagai pengaduan warga negara kepada Mahkamah Konstitusi atas tindakan pemerintah atau bahkan putusan final pengadilan umum yang dianggap melanggar hak-hak dasarnya yang dilindungi oleh konstitusi.[2]

            Hak untuk mengajukan constitutional complaint ini nantinya masuk ke dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam menegakkan konstitusi. Jika kita melihat dalam konsideran UU MK, maka sudah seharusnya MK dapat menerima pengaduan ini.[3] Sayangnya kewenangan MK hanya dibatasi sepanjang pasal 10 ayat 1 dan 2, selain itu dalam pasal 24C UUD 1945 pun tidak memberikan keleluasaan MK untuk menerima constitutional complaint sebagai salah satu wewenanganya. Maka perlu diadakan perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku agar constitutional complaint dapat diterapkan.

Adanya constitutional complaint ini membantu mengakomodasi warga negara untuk menyuarakan pengaduannya jika tindakan pejabat publik melanggar hak-hak dasar yang sudah dilindungi oleh konstitusi. Penerapan constitutional complaint berbeda dengan judicial review. Dalam judicial review, yang diadukan adalah isi dari undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, sedangkan constitutional complaint yang diadukan adalah tindakan pejabat publik dan putusan final pengadilan yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Tindakan tersebut juga bisa berarti tindakan acuh/abai atau tindakan pasif  pemerintah yang tidak memenuhi hak-hak warga negaranya.

            Dengan adanya constitutional complaint ini maka warga negara dapat mengadukan hak-hak yang mungkin telah dilanggar oleh para organ negara yang tidak selalu lahir dari undang-undang saja, tetapi juga dari tindakan pejabat publik atau putusan pengadilan yang melanggar hak-hak warga negara dalam konstitusi. Dilanggar disini dapat diartikan sebagai tidak dipenuhi, tidak dilaksanakan, atau diabaikan oleh pemerintah.

            Sehingga dengan adanya constitutional complaint ini diharapkan dapat menaikkan tingkat demokrasi Indonesia, bukan hanya dari sisi perebutan kekuasaan tetapi juga dari sisi bagaimana para penguasa tersebut memenuhi hak-hak warga negara yang sudah dituliskan melalui konstitusi UUD 1945. Maka harapan kita tentang hak menempuh pendidikan yang layak, pekerjaan yang layak, bebas beragama, serta bebas berpolitik nantinya dapat diakomodasi melalui constitutional complaint itu sendiri, sebagai upaya permintaan dari masyarakat.

No comments:

Post a Comment