Suatu masyarakat yang demokratis adalah masyarakat yang mengakui adanya perbedaan – Prof. Dr. H.A.R Tilaar
Baru-baru ini muncul isu penolakan terhadap “gagasan”. Di Malang, acara bedah buku Tan Malaka dilarang. Lantaran gagasan Tan Malaka yang diklaim sebagai komunis. Lalu yang terbaru adalah dilarangnya Jalaluddin Rahmat datang ke kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jalal datang ke UNJ dengan tujuan untuk memberikan gagasan dan ilmu terhadap mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam.
Saya tidak tahu apa alasan konkret atas pelarangan kedatangan Jalaluddin Rahmat. Jika hanya karena dia tokoh Syiah, mengapa harus dilarang. Bukankah institusi pendidikan adalah wadah untuk semua kalangan umat? (UUD’45 Pasal 31 ayat 1). Dan terlebih dia hanya memberikan ilmu pengetahuan, bukan melakukan penghancuran atau pengrusakan terhadap sarana kampus. Dalam Al Qur’an pun dijamin akan ditinggikan beberapa derajat terhadap orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. (QS: Al Mujadilah: 11)
Akibatnya, institusi pendidikan telah mengalami degradasi makna. Instituis pendidikan seyogyanya menciptakan individu berwatak “demokrasi substantive”. Tapi dengan adanya segolongan kelompok yang menolak kedatangan intelektual Syiah ke kampus, watak demokrasi substantif berubah menjadi watak “demokrasi permukaan”. Artinya kampus tersebut berbaju demokrasi, namun jiwanya masih membatasi hak-hak warga negaranya untuk menyampaikan gagasan (Jeff Heyness, 2000:137). Atau dalam istilah agama, demokrasi permukaan sama halnya dengan “munafik”.
Kondisi demikian, pada tataran selanjutnya akan menimbulkan konflik horizontal. Konflik yang terjadi antar sesame individu maupun golongan. Karena masing-masing individu ataupun golongan tidak bisa menerima gagasan yang berbeda dari gagasan keidentitasannya. Gagasan yang berbeda langsung dijudge buruk, hanya karena mengikuti pendapat umum, tanpa ada tinjauan secara akademis. Tinjauan akademis penting sebagai pembuktian kebenaran ilmiah.
Tinjauan akademis selanjutnya dipublikasikan dan didiskusikan dalam dialog ilmiah atau berdisukusi. Dalam dialog ilmiah, semangat saling toleransi terhadap gagasan yang berbeda sangat dijunjung tinggi. Karena itu merupakan hak warga Negara untuk berpendapat (UUD’45 Pasal 28).
Apalagi penolakan tersebut berlansung di institusi perguruan tinggi yang notabanenya mengedepankan semangat akademis (baca, tulis, dan diskusi). Bukan semangat diktator, yang serba melarang hanya untuk kepentingan kekuasaanya.
Lebih jauh pakar pendidikan H.A.R Tilaar menyoroti akan terjadi isolasianisme pemikiran., yaitu terkotak-kotaknya ilmu, ketika terjadi pembatasan penyampaian gagasan atau ilmu pengetahuan. Alhasil ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang secara dinamis. Hal ini berbanding terbalik dengan zaman modernitas saat ini yang menghendaki ilmu harus terus dikembangkan seiring dengan perubahan sosial.
Kasus penolakan terhadap gagasan keilmuan juga membuktikan terjadinya krisis keintelektualan di kalangan sivitas akademik. Karena seharusnya seorang intelektual “senang” dan tidak jemu membahas gagasan keilmuan. Di sini letak perbedaannya dengan kaum “teknisi”. Bagi kaum “teknisi” yang penting adalah soal “penerapan” dari segala sesuatu yang dikonsepkan oleh gagasan itu. Mereka tidak perlu merasa harus bertanggung jawab atas akbiat sosial. (Daoed Joesoef, 2011:290)
Kasus penolakan terhadap gagasan Syiah yang terjadi di Indonesia merupakan hanya terapan dari konflik gagasan yang terjadi di Negara Timur-Tengah. Di Timur-Tengah konflik tersebut berujung pada perang saudara yang telah memakan banyak korban jiwa.
“Konflik” inilah yang diikuti oleh sebagian warga muslim Indonesia. Mereka kurangmelihat latar belakang sisi historis, sosial dan budaya.Indonesia memiliki latar belakang sejarah, sosial dan budaya yang berbeda dengan Timur-Tengah. Apakah Indonesia ingin mengikuti jejak Negara Timur-Tengah yang telah banyak menumpahkan darah? Cukuplah kejadian tahun 1965 dan 1998 sebagai akhir dari sistem yang telah banyak memakan korban jiwa.
Indonesia jangan lagi terjebak pada konflik-konflik yang sifatnya rasis, seperti penolakan terhadap gagasan Syiah. Yang semestinya ditolak adalah sistem kediktatoran yang berujung ketidakadilan. Ketidakadilan bagi kaum minoritas untuk mengembangkan gagasannya.
Syiah hanya salah satu aliran minoritas dalam agama islam. Kaum minoritas sangat rentan ditindas oleh kaum mayoritas. Baik ditindas dalam gagasan, maupun tindakan. Bila kampus membiarkan hal itu terjadi, maka hasilnya adalah pemenjaraan kemerdekaan “menggagas” untuk melakukan tindakan kreatif. Dengan demikian kampus hanya menghasilkan intelektual bak’ robot-robot tanpa kebebasan.
Terakhir, karena kejadian penolakan Syiah berkaitan dengan Islam, saya akan mengungkapkan dua ayat yang menjamin kebebasan, baik dalam beragama maupun gagasan.
Pertama, ada surat Yunus ayat 99 yang isinya sebagai berikut: Dan jika Tuhan-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tapi apakah kamu hendak MEMAKSA manusia agar mereka menjadi beriman?
Kedua, surat Al Baqarah ayat 256. Isinya sebagai berikut: Tidak ada PAKSAAN dalam (menganut) agama, sesungguhnya telah jelas (perbedaan) jalan yang benar dengan jalan yang sesat
Baru-baru ini muncul isu penolakan terhadap “gagasan”. Di Malang, acara bedah buku Tan Malaka dilarang. Lantaran gagasan Tan Malaka yang diklaim sebagai komunis. Lalu yang terbaru adalah dilarangnya Jalaluddin Rahmat datang ke kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jalal datang ke UNJ dengan tujuan untuk memberikan gagasan dan ilmu terhadap mahasiswa Jurusan Ilmu Agama Islam.
Saya tidak tahu apa alasan konkret atas pelarangan kedatangan Jalaluddin Rahmat. Jika hanya karena dia tokoh Syiah, mengapa harus dilarang. Bukankah institusi pendidikan adalah wadah untuk semua kalangan umat? (UUD’45 Pasal 31 ayat 1). Dan terlebih dia hanya memberikan ilmu pengetahuan, bukan melakukan penghancuran atau pengrusakan terhadap sarana kampus. Dalam Al Qur’an pun dijamin akan ditinggikan beberapa derajat terhadap orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. (QS: Al Mujadilah: 11)
Akibatnya, institusi pendidikan telah mengalami degradasi makna. Instituis pendidikan seyogyanya menciptakan individu berwatak “demokrasi substantive”. Tapi dengan adanya segolongan kelompok yang menolak kedatangan intelektual Syiah ke kampus, watak demokrasi substantif berubah menjadi watak “demokrasi permukaan”. Artinya kampus tersebut berbaju demokrasi, namun jiwanya masih membatasi hak-hak warga negaranya untuk menyampaikan gagasan (Jeff Heyness, 2000:137). Atau dalam istilah agama, demokrasi permukaan sama halnya dengan “munafik”.
Kondisi demikian, pada tataran selanjutnya akan menimbulkan konflik horizontal. Konflik yang terjadi antar sesame individu maupun golongan. Karena masing-masing individu ataupun golongan tidak bisa menerima gagasan yang berbeda dari gagasan keidentitasannya. Gagasan yang berbeda langsung dijudge buruk, hanya karena mengikuti pendapat umum, tanpa ada tinjauan secara akademis. Tinjauan akademis penting sebagai pembuktian kebenaran ilmiah.
Tinjauan akademis selanjutnya dipublikasikan dan didiskusikan dalam dialog ilmiah atau berdisukusi. Dalam dialog ilmiah, semangat saling toleransi terhadap gagasan yang berbeda sangat dijunjung tinggi. Karena itu merupakan hak warga Negara untuk berpendapat (UUD’45 Pasal 28).
Apalagi penolakan tersebut berlansung di institusi perguruan tinggi yang notabanenya mengedepankan semangat akademis (baca, tulis, dan diskusi). Bukan semangat diktator, yang serba melarang hanya untuk kepentingan kekuasaanya.
Lebih jauh pakar pendidikan H.A.R Tilaar menyoroti akan terjadi isolasianisme pemikiran., yaitu terkotak-kotaknya ilmu, ketika terjadi pembatasan penyampaian gagasan atau ilmu pengetahuan. Alhasil ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang secara dinamis. Hal ini berbanding terbalik dengan zaman modernitas saat ini yang menghendaki ilmu harus terus dikembangkan seiring dengan perubahan sosial.
Kasus penolakan terhadap gagasan keilmuan juga membuktikan terjadinya krisis keintelektualan di kalangan sivitas akademik. Karena seharusnya seorang intelektual “senang” dan tidak jemu membahas gagasan keilmuan. Di sini letak perbedaannya dengan kaum “teknisi”. Bagi kaum “teknisi” yang penting adalah soal “penerapan” dari segala sesuatu yang dikonsepkan oleh gagasan itu. Mereka tidak perlu merasa harus bertanggung jawab atas akbiat sosial. (Daoed Joesoef, 2011:290)
Kasus penolakan terhadap gagasan Syiah yang terjadi di Indonesia merupakan hanya terapan dari konflik gagasan yang terjadi di Negara Timur-Tengah. Di Timur-Tengah konflik tersebut berujung pada perang saudara yang telah memakan banyak korban jiwa.
“Konflik” inilah yang diikuti oleh sebagian warga muslim Indonesia. Mereka kurangmelihat latar belakang sisi historis, sosial dan budaya.Indonesia memiliki latar belakang sejarah, sosial dan budaya yang berbeda dengan Timur-Tengah. Apakah Indonesia ingin mengikuti jejak Negara Timur-Tengah yang telah banyak menumpahkan darah? Cukuplah kejadian tahun 1965 dan 1998 sebagai akhir dari sistem yang telah banyak memakan korban jiwa.
Indonesia jangan lagi terjebak pada konflik-konflik yang sifatnya rasis, seperti penolakan terhadap gagasan Syiah. Yang semestinya ditolak adalah sistem kediktatoran yang berujung ketidakadilan. Ketidakadilan bagi kaum minoritas untuk mengembangkan gagasannya.
Syiah hanya salah satu aliran minoritas dalam agama islam. Kaum minoritas sangat rentan ditindas oleh kaum mayoritas. Baik ditindas dalam gagasan, maupun tindakan. Bila kampus membiarkan hal itu terjadi, maka hasilnya adalah pemenjaraan kemerdekaan “menggagas” untuk melakukan tindakan kreatif. Dengan demikian kampus hanya menghasilkan intelektual bak’ robot-robot tanpa kebebasan.
Terakhir, karena kejadian penolakan Syiah berkaitan dengan Islam, saya akan mengungkapkan dua ayat yang menjamin kebebasan, baik dalam beragama maupun gagasan.
Pertama, ada surat Yunus ayat 99 yang isinya sebagai berikut: Dan jika Tuhan-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tapi apakah kamu hendak MEMAKSA manusia agar mereka menjadi beriman?
Kedua, surat Al Baqarah ayat 256. Isinya sebagai berikut: Tidak ada PAKSAAN dalam (menganut) agama, sesungguhnya telah jelas (perbedaan) jalan yang benar dengan jalan yang sesat
No comments:
Post a Comment