Pembicaraan tentang toleransi antar umat beragama
akan selalu mengingatkanku sebuah kisah pengalaman hidup dari seorang
kolega lamaku ketika tinggal dan bekerja menjadi manajer produksi di
perusahaan tambang Saudi Aramco di Arab Saudi bersama suami dan ketiga
anak perempuannya. Diceritakannya, di kota Jeddah tempat tinggalnya
selama di Arab Saudi ada banyak ekspatriat non-muslim laki-laki dan
perempuan seperti dia. Bagi para ekspatriat yang agamis (karena ada juga
ekspatriat yang Kristen KTP) dan ingin beribadah, mereka tidak pernah
menemukan kesulitan karena di Arab Saudi pada umumnya dan di Jeddah pada
khususnya cukup mudah untuk menemukan rumah-rumah ibadah non-muslim
seperti gereja, kathedral, sinagoga, kuil Hindu dan Buddha serta rumah
ibadah-rumah ibadah agama minor lainnya. Bahkan, jumlah gereja di Saudi
Arabia agak “berlebih” karena banyaknya aliran-aliran dalam agama
Kristen Protestan.
Dia tambahkan, di Kerajaan Arab Saudi yang tidak
mengenal mayoritas dan minoritas (karena 100% penduduknya adalah muslim)
hubungan antar muslim dan non muslim pendatang sangat hangat, erat
bersahabat, saling menghormati dan tolong-menolong. Bahkan, selain
menjaga tempat-tempat ibadah non muslim, rakyat bersama pemerintah Arab
Saudi yang kasnya cukup makmur relatif banyak mengucurkan dana dalam
pembangunan rumah-rumah peribadatan non-muslim.
Kolegaku bilang hanya kota Mekkah yang dikhususkan
tak memiliki bangunan peribadatan selain buat umat muslim. Walau
demikian, umat beragama lain sangat diterima dengan hangat dan
bersahabat oleh para umat-umat muslim yang bertugas ketika mengunjungi
kabah, seperti halnya kalau orang-orang non-Kristen disambut hangat oleh
para tour guide di Italia ketika mengunjungi Vatikan, tempat suci umat Kristen.
Sebagai salah satu wujud toleransi lainnya,
pemerintah Kerajaan Arab Saudi sangat terbuka terhadap zending,
misionaris dan kepada kegiatan dan gerakan penyebaran agama non-islam
lainnya di bumi Arab Saudi. Kebijakan ini diambil Pemerintah Kerajaan
Arab Saudi karena pemerintah Arab Saudi tak khawatir umat muslim akan
pindah agama akibat syiar tersebut. Pemerintah dan rakyat Arab Saudi
percaya sepenuhnya dan tahu kalau hanya agama islam yang adalah agama
yang sempurna dan final dan satu-satunya agama yang diridhoi. Dan
memang, hingga saat ini upaya syiar agama non-islam di Saudi Arabia
seperti menjaring angin belaka. Malahan, tak sedikit uskup misionaris
dan pastor Kristen misionaris menjadi mualaf.
Akhirnya, bagi kolega lamaku, tinggal dan bekerja
di Arab Saudi selama kira-kira 8 tahun tak hanya membuat dia cukup
berlimpah dari segi materi, namun juga pengalaman tak ternilai tentang
indah dan damainya islam bagi dunia, khususnya bagi para non muslim.
Nyaris tak ada ekspatriat non-muslim yang mampu menahan meneteskan air
matanya ketika kontrak kerjanya di Arab Saudi berakhir sehingga harus
berpisah dengan masyarakat Arab Saudi dengan kehidupannya yang islami
nan kaffah. Bagi para ekspatriat non-muslim, tinggal di Saudi Arabia
akan selalu menjadi salah satu pengalaman hidup termanis dan terindah.
Kolegaku selalu menyarankan agar para non muslim
yang masih apriori atau curiga terhadap islam sebagai rahmatan lil
alamin agar mencari jalan untuk bisa hidup di Saudi Arabia, negara
kelahiran nabi islam, agama islam, agama berkah, negara tempat kota suci
Mekkah dan Madinah dan kabah berada, setidaknya tinggal di sana selama 2
tahun. Niscaya, para non muslim akan takjub akan keindahan dan
keagungan islam serta toleransinya. Dia juga sangat mengkritik dan
menyayangkan sikap beberapa pemerintah yang cenderung islamofobia.
Seharusnya, menurutnya, pemerintah negara-negara Kristen Eropa, Amerika,
Australia dan Yahudi Israel yang islamofobia belajar banyak dan
mencontoh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi bersama rakyatnya dalam
memperlakukan umat non-muslim di negaranya dengan sangat ramah dan penuh
toleransi dalam kesetaraan (tanpa diskriminasi termasuk diskriminasi
gender).
No comments:
Post a Comment