Politik selalu tampil dengan dua wajah paradoksal. Epifani
ketulusan dan ekspresi buruk rupa. Lambang akal waras dan pantulan sesat
pikir. Tarik- menarik di antara keduanya menjadi narasi sepanjang sejarah dan
fenomena kedua yang acap kali tampil ke muka.
Menjadi sangat bisa dipahami jika Lord Acton kemudian mewartakan
bahwa kekuasaan selalu memiliki kecenderungan korup. Kekuasaan sering
disalahgunakan untuk kepentingan sesaat bahkan sesat. Maka, menjadi tepat
kalau Aristoteles menyebut manusia sebagai makhluk politik, zoon politicon. Politik menjadi sebuah
hasrat untuk berkelit dari watak ”kebinatangan” dan memunculkan spirit
kemanusiaan. Meski demikian, lagi-lagi pada akhirnya kebinatangan dalam kisah
politik yang acap kali tampil sebagai arus utama.
Thomas Hobbes dalam Leviathan menyebutnya homo homini lupus. Medan politik menjadi serupa belantara yang
hanya menyediakan tempat bagi mereka yang kuat. Serigala menjadi raja rimba
tidak tersebab ia karnivora, tetapi
karena daya agresivitas, kebuasan, dan kehendak untuk menyakiti lawan yang
melekat dalam tubuhnya. Serigala jadi simbol rebutan kekuasaan yang hanya
menyisakan kemenangan bagi yang tersiap, survival
of the fittest. Hadir menjadi raja hutan bukan dengan fungsi melindungi
kawanan hewan yang lemah, melainkan justru kebalikannya. Kekuasaan jadi alat
mencengkeramkan dominasi, mengoperasikan hegemoni, dan menebarkan rasa takut.
Ketaatan yang didapatkan bukan karena rasa takzim, melainkan
semata karena kekhawatiran dijadikan mangsa, rasa waswas kapan giliran jadi
korban berikutnya dari hasrat tamak
serigala.
Di tengah absurditas negeri kepulauan dengan partai yang banyak,
etnik berlimpah, bahasa dan agama berbeda, politik minimal menawarkan, bukan
kehidupan sempurna tanpa cacat, tetapi harapan. Di balik kecemasan, rasa
frustrasi, dan waswas, meminjam tafsir Albert Camus, selalu tebersit
optimisme tentang kebaikan dunia (negara) yang dibayangkan.
Dalam konteks inilah demokrasi sebagai jangkar utama politik
yang dianggap merepresentasikan kehendak publik menyelenggarakan pemilu.
Pemilu siklus lima tahunan dipandang dapat jadi pintu masuk lahirnya wakil rakyat (pemimpin) yang dapat mengubah
kemustahilan menjadi kemungkinan, dapat mentransformasikan angan-angan
khalayak menjadi kenyataan, mengejawantahkan mimpi kebangsaan menjadi bagian
dari sejarah keseharian, atau dalam istilah Bung Karno menuntaskan revolusi
yang belum selesai.
Wibawa kuasa
Pemilu dirayakan tidak saja agar fitrah manusia sebagai ternak
politik menemukan salurannya yang konstitusional, tetapi lebih jauh dari itu
adalah agar bagaimana melalui pemilu terjaring para pemimpin yang bisa
meriwayatkan diri dan liyan dengan sahih, tanggung jawab, dan penuh adab.
Agar ada pergeseran dari sekadar zoon
politcon ke arah kata Levinas (1906-1995) respondeo ergo sum: saya bertanggung jawab, maka saya ada.
Pemilu membayangkan gambaran
”keterwakilan” yang tidak saja secara fisik, tetapi lebih dari itu
adalah visi yang jelas tentang masa depan bangsa. Visi guna menuntaskan
seluruh cita-cita proklamasi yang dahulu baru dirumuskan hanya dalam tempo
sesingkat-singkatnya
Di sinilah memilih wakil rakyat yang amanah menjadi suatu
keniscayaan. Alan Badiou menyebutnya dengan kepercayaan (fidelity), pilihan (choice),
dan menggerakkan perubahan (change).
Filsuf yang lain meletakkan kualifikasi itu pada kemampuan
pengendalian diri, arif, berani dan adil (Plato), tercerahkan dan memiliki
keutamaan serta pengetahuan yang bisa membedakan mana yang esensial dan mana
yang artifisial, mana ideen dan meinungen (Aristoteles). Memuliakan akal
budi, kukuh dalam rasionalitas publik dengan segala imperatif moralnya yang
berporos pada palung nurani demi keberlangsungan kebaikan bersama (Kant),
punya iman otentik dengan tetap merawat kebebasan agar setiap keputusan kelak
yang diambilnya dapat menjaga jarak dengan politik kepentingan (Kierkegaad).
Al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sulthaniyah mencatat kriteria moral
seorang yang layak menjadi pemimpin: (1) kecermatan mengendalikan nafsu yang
dijangkarkan pada penghayatan iman kudus; (2) dapat menyalurkan aspirasi
masyarakatnya dengan penuh keseriusan; (3) mampu bertindak adil; (4) dapat
menciptakan rasa aman; (5) memiliki pengetahuan dalam hal ikhtiar
menyejahterakan khalayak; (6) menyuntikkan sikap optimistis yang terukur.
Kota jahil
Pemimpin dan wakil rakyat seperti itu yang selayaknya dipilih
dan atau setidaknya mendekati kriteria itu. Karena hanya manusia dengan karakter
ini yang dapat membangun negara utama (al-madinah
al-fadhilah). Bakal bisa memunculkan kesejahteraan umum sekaligus
mengapresiasi keragaman warga sebagai bagian dari fitrah berbangsa.
Jika tidak, sesungguhnya kita tengah berlayar menuju negeri
dengan tiga kemungkinan buruk, meminjam tipologi negara dari Al-Farabi yang
banyak dipengaruhi Aristotoles dan belajar logika kepada Kristen Nestorian
Yuhanna ibn Hailan dalam kitabnya al-Madinah
al-Fadhilah, al-Siyasah al-Madaniyah,
Fushul al-Madani.
Pertama, negara sesat (al-madinah al-dhalalah). Semacam
negara dengan kepemimpinan yang tidak efektif dan tak berwibawa sehingga
rakyat setiap saat bertindak anarkistis dan menyelesaikan persoalan dengan
jalan kekerasan. Pemimpin yang sama sekali tidak bekerja kecuali sekadar
melakukan pidato yang dirutinkan untuk memperkokoh citra bahwa dia adalah
raja. Kedua, negara dungu (al-madinah
al-jahilah) yang dicirikan dengan: terpesona fantasi angka-angka ekonomi
saja, gila penghormatan dan tamak, tersekap dalam kebodohan, dan akhirnya
senantiasa melihat persoalan dengan kacamata kuda.
Ketiga, negara tunamoral
(al-madinah al-fusqah) adalah
negara dengan payung agama dan undang-undang jelas, falsafah hidup yang tidak
disangsikan karena digali dari hamparan khazanah kearifan lokal tetapi tidak
ada kesediaan seluruh komponen bangsa untuk membumikannya secara fungsional
dalam praksis.
Dari rahim pemilu yang adil dan jujur kita mengharapkan lahir
para pemimpin yang dapat menarasikan persoalan bangsa dengan tanggung jawab.
Pemilu sudah seharusnya menjadi keran yang mengalirkan para wakil rakyat yang
tidak saja ingat terhadap haknya, tetapi juga sadar atas seluruh kewajiban di
pundaknya.
No comments:
Post a Comment