Pengantar
Pada tanggal 15
Agustus 1945 Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu setelah kedua
kotanya Hiroshima dan Nagasaki hancur terkena bom atom Sekutu.
Menyerahnya Jepang dalam Perang Pasifik membuat daerah dudukannya
menjadi status quo. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para tokoh
nasional Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan secepat mungkin
sebelum Sekutu datang. Dua hari setelah Jepang menyerah, tepatnya pada
tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan merdeka atas penjajahan.
Kemerdekaan Indonesia ini menjadi tonggak sejarah baru negeri ini.
Kemerdekaan pulalah yang menjadi titik balik dalam dinamika sosial,
sehingga terjadi perubahan sosial yang drastis dalam masyarakat.
Perubahan sosial pascaproklamasi inilah yang sering disebut dengan
revolusi sosial.
Revolusi sosial
merupakan bentuk tanggapan dari proklamasi Indonesia dan menyerahnya
Jepang kepada Sekutu. Pada setiap daerah di Indonesia terjadi Revolusi
Sosial yang dilatarbelakangi penyebab yang hampir sama yaitu kondisi
ketimpangan disegala aspek kehidupan masyarakat. Ketimpangan ini
terlihat sangat mencolok terutama antara rakyat kelas bawah dengan para
pengusaha, bangsawan, dan pejabat pemerintah. Selain ketimpangan dalam
segala aspek juga muncul rasa ketidakadilan di dalam masyarakat terhadap
golongan atas. Keadaan ini juga didukung provokasi dari pejuang-pejuang
gerakan bawah tanah kepada masyarakat akan kondisi ketidakadilan ini.
Momen proklamasi kemerdekaan Indonesia menjadi titik awal pelampiasan
rasa ketidakadilan yang sudah menjadi bibit di dalam masyarakat.
Perihal-perihal di atas menjadi penyebab secara umum terjadinya Revolusi
sosial di setiap daerah di Indonesia.
Peristiwa Tiga Daerah
Revolusi sosial
mewarnai hampir setiap daerah di Indonesia. Salah satu yang terkenal
adalah Peristiwa Tiga Daerah di Tegal, Brebes, dan Pemalang yang terjadi
pada bulan Oktober-Desember 1945. Peristiwa Tiga Daerah adalah salah
satu bentuk rasa sakit hati rakyat terhadap pejabat dan penguasa daerah.
Tidak hanya kepada penguasa daerah, rasa sakit hati juga timbul kepada
para perangkat desa dan camat. Rasa ketidakadilan dan sakit hati dalam
diri rakyat Tiga Daerah terjadi karena monopoli pangreh praja (pejabat pemerintah daerah) dalam birokrasi. Salah satu kasus yang terjadi adalah tidak meratanya pengaturan irigasi oleh pangreh praja
setempat yaitu isensitas pengairan lebih ditujukan kepada pengusaha
ladang tebu daripada ke petani padi lokal. Kasus tersebut terjadi ketika
Hindia Belanda masih berdiri. Sementara pada zaman pendudukan Jepang
kesenjangan masyarakat semakin menjadi terutama ketika diterapkan
penjatahan kepemilikan barang-barang pokok. Kondisi ini dimanfaatkan
para pejabat untuk mengkorupsi jatah milik rakyat. Kasus-kasus inilah
yang melatarbelakangi kondisi masyarakat yang sudah tidak stabil
menjelang kemerdekaan.
Setelah
kemerdekaan, situasi di Tiga Daerah semakin tidak stabil karena sikap
pemimpin daerah yang masih bingung dalam memilih bergabung dengan
pemerintahan Indonesia atau tidak. Sementara di lain pihak rakyat
berkehendak untuk bergabung dengan pemerintah Indonesia. Tuntutan rakyat
Tiga Daerah ini bukan tanpa alasan. Rakyat Tiga Daerah memandang
kemerdekaan sebagai jalan untuk kesetaraan sosial antara rakyat dengan pangreh praja. Propaganda dan kampanye dari kaum nasionalis (terutama orang PKI) setempat turut menyulut tuntutan rakyat tadi.
Sikap dari
pemerintah daerah yang lamban dan juga rasa ketidakadilan dalam rakyat
Tiga Daerah akhirnya menimbulkan pecahnya Peristiwa Tiga Daerah.
Peristiwa Tiga Daerah diawali dengan pembunuhan para wedana dan pejabat
desa di daerah Tegal. Sementara di Brebes sasaran amuk masyarakat
ditujukan kepada orang China dan Indo-Eropa. Alasan dari penyerangan
orang China dan Indo-Eropa lebih berdasar atas kesenjangan ekonomi dan
posisi orang nonlokal tersebut sebagai saudagar atau pengusaha yang di
mata rakyat sebagai salah satu penindas mereka. Lain halnya dengan
Pemalang, selain menyerang kantor pemerintah setempat, rakyat Pemalang
juga menyerang markas BKR di Pemalang. Pada saat itu rakyat memandang
BKR tidak memperdulikan mereka karena tidak ikut dalam revolusi sosial
di Tiga Daerah tersebut.
Munculnya Laskar-laskar di Ibukota
Revolusi sosial
juga melanda ibukota Indonesia, Jakarta. Pada mulanya tidak ada
pergolakan sosial setelah kemerdekaan negara Indonesia, akan tetapi
sejak datangnya Sekutu mulai munculah pergolakan di dalam masyarakat.
Revolusi sosial di Jakarta dimulai dengan munculnya para laskar-laskar
tidak resmi yang terdiri dari para jawara dan mantan garong. Sasaran
dari laskar-laskar tersebut adalah para pedagang dan orang Indo-Eropa
dan Cina. Alasan dari diserangnya orang-orang nonpribumi lebih didasari
atas rasa sakit hati dan kebebasan setelah merdeka. Keberadaan
laskar-skar ini juga menjadi keresahan di warga ibukota, oleh karena
sering kali laskar-laskar tersebut menyerang warga-warga setempat.
Revolusi sosial
di Jakarta juga melebar ke daerah Depok. Depok adalah salah satu daerah
yang diisi oleh mayoritas orang nonpribumi dan mantan pejabat Belanda
dari pribumi, bahkan ketika pendudukan Jepang kondisi tersebut masih
bertahan. Hal ini menjadikan Depok sebagai daerah eksklusif daripada
daerah lain disekitarnya sehingga setelah proklamasi terjadi ‘invansi’
laskar-laskar lokal ke daerah Depok. Terjadi begitu banyak penjarahan
dan pembunuhan di daerah Depok sebagai bentuk rasa sakit hati orang
sekitar Depok.
Revolusi di Sumatra Timur
Revolusi sosial
terjadi di Sumatra khususnya di Sumatra Timur pada waktu yang hampir
bersamaan dengan Peristiwa Tiga Daerah. Sebagai salah satu daerah
perkebunan penting, pada era penerapan sistem ekonomi liberal Sumatra
Timur menjadi salah satu daerah sasaran transmigrasi pekerja kasar dari
Jawa untuk diperkejakan di perkebunan Sumatra Timur. Banyaknya pekerja
nonpribumi Sumatra menjadikan pergesekan antarsuku di Sumatra Timur.
Pergesekan antarsuku di Sumatra Timur dikarenakan rasa iri antara suku
non-Melayu kepada orang Melayu yang memiliki hak istimewa di dalam
dinamika sosial.
Ketimpangan
sosial juga menjadi salah satu munculnya revolusi sosial di Sumatra
Timur. Ketimpangan ini terjadi antara para pekerja perkebunan dengan
para pengusaha, penguasa kolonial, dan bangsawan kerajaan setempat. Para
pekerja perkebunan di Sumatra Timur merasa haknya dirampas karena tanah
mereka bertani dialihfungsikan secara paksa untuk perkebunan swasta.
Hal ini kian diperparah dengan sikap para raja setempat yang tidak
berani membela rakyatnya. Setelah proklamasi kemerdekaan, kondisi
sosial di Sumatra Timur kian tegang. Oleh karena belum adanya kekuasaan
yang jelas, terjadi konflik fisik antarsuku terutama suku Melayu dengan
suku non-Melayu dan konflik antara si miskin dengan si kaya. Selain itu
muncul penjarahan dan pembakaran kediaman para bangswan setempat.
Banyaknya konflik-konflik di Sumatra Timur dan kasus penjarahan
menjadikan kondisi sosial di sana tidak menentu.
Revolusi Sosial di Indonesia
Munculnya
berbagai pergolakan sosial di Indonesia tidak hanya tiga contoh
tersebut, akan tetapi hampir di setiap daerah di Indonesia. Timbulnya
pergolakan sosial di berbagai daerah di Indonesia merupakan bentuk dari
dampak perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tepat setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perubahan dari sistem masyarakat yang
dahulu terikat kuat dengan masyarakat ke kondisi masyarakat yang telah
merdeka dan berada di bawah pemerintah baru yang demokratis menimbulkan
berbagai pergolakan sosial dan konflik dalam masyarakat. Pergolakan
sosial setelah proklamasi lebih sering terjadi antara mereka rakyat yang
dahulu terjajah dalam segala aspek dengan penguasa daerah yang dahulu
berkolaborasi dengan para penjajah. Rasa balas dendam dan ketidakadilan
menjadi hal yang mendorong mereka yang dahulu terjajah untuk melakukan
revolusi sosial melawan mereka yang dianggap menindas kaum lemah.
Faktor semangat
kemerdekaan juga menjadi pendorong terjadinya revolusi sosial di
berbagai daerah. Lamban dan enggannya para pejabat daerah dan pemerintah
daerah dalam mendukung proklamasi menjadikan rakyat pendukung
proklamasi kehabisan kesabaran dan melakukan pergerakan secara fisik
dalam mendorong para pejabat dan pemerintah daerah mendukung
kemerdekaan. Selain itu sentimen masyarakat daerah terhadap ras dan
golongan tertentu juga mendorong masyarakat melakukan perlawanan dalam
rangka merubah pranata sosial yang sudah ada sejak dahulu. Akan tetapi
perlawanan tersebut lebih sering terjadi dengan menggunakan jalan
radikal (kekerasan).
Revolusi sosial
dipandang sebagai bentuk dari citra buruk dari bangsa Indonesia oleh
para pemimpin bangsa pada saat itu. Karena pada saat setelah proklamasi
para tokoh bangsa seperti Soekarno, Muhammad Hatta, dan H. Agus Salim
sedang mengupayakan diplomasi dengan pihak Barat agar mendukung
kemerdekaan Indonesia. Tepat pada saat Perang Dunia II berakhir Sekutu,
yang diwakili Inggris, datang ke Indonesia untuk mengambil tawanan
Jepang dan tentara Jepang. Oleh karena itu para pemimpin bangsa pada
saat itu berupaya membuat Sekutu memandang baik citra orang Indonesia.
Akan tetapi kedatangan Sekutu kian memperparah situasi sosial dalam
masyarakat karena kedatangan Sekutu juga diikuti oleh NICA yang berusaha
mengambil alih kendali di Hindia Belanda. Hal ini menjadikan kondisi
sosial di Indonesia kian memanas dan kacau.
Kesimpulan
Revolusi Sosial
sudah menjadi salah satu aspek historis dalam sejarah kemerdekaan yang
memiliki pengaruh sampai sekarang. Tanpa adanya revolusi sosial mungkin
tidak akan tercipta negara yang satu suara dalam mendukung kemerdekaan.
Selain itu revolusi sosial juga menjadi contoh bagaimana masyarakat
Indonesia pada saat itu begitu semangat menyambut kemerdekaan. Namun
revolusi sosial juga menjadi intrepertasi bagaimana masyarakat Indonesia
sangat mudah terprovokasi dan bertindak liar di luar komando. Sehingga
revolusi sosial merupakan salah satu bukti bagaimana proses dinamika
yang telah membudidaya dalam masyarakat.
Referensi
Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. diterjemahkan oleh: Hasan Basari. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kahin, Audrey R.. 1990. Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan. diterjemahkan oleh: Satyagraha Hoerip. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. diterjemahkan oleh: Nin Bakdi Soemanto. Surakarta: Sebelas Maret University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan.
Lucas, Anton E.. 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
No comments:
Post a Comment