Moldovia hanyalah negara kecil bekas wilayah Uni Sovyet yang
terisolir di antara Rumania dan Ukraina yang “kurang berarti”. Tidak
heran jika selama ini tidak satupun Presiden AS yang pernah menginjakkan
kakinya di negeri ini.
Namun secara tiba-tiba, negara kecil ini menarik perhatian media-media massa utama AS, hanya karena negara ini menggelar pemilihan legislatif tanggal 30 November lalu. Perhatian media-media massa tersebut bahkan lebih besar dari perhatian mereka saat Indonesia menggelar kegiatan yang sama bulan Juli lalu.
Wall Street Journal (WSJ) hari Kamis (27/11) misalnya, menggambarkan kondisi politik negara ini sebagai “pergulatan spionase era Perang Dingin yang melibatkan senjata, gangster dan aparat keamanan Rusia”.
Sementara New York Times (NYT) bahkan lebih serius lagi, dengan memajang monumen perjuangan tentara Uni Sovyet (Rusia) berbentuk tank dengan tulisan: “Monumen militer di Transnistria, bagian dari Moldova yang akan segera dianeksasi Rusia.”
Atas laporan-laporan yang provokasit ini, media Rusia RIA Novosti (Sputnik) menyebutnya sebagai “bentuk absurditas yang disebabkan ketidak fahaman tentang sejarah Moldovia”.
“Tentu saja, bagi New York Times hal ini menunjukkan tanda-tanda keputusa-asaan kedaerahan dan “lampu hijau” bagi penulisan tidak akurat tentang wilayah ini, termasuk kebohongan-kebohongan tentang rencana Rusia untuk menjadikannya sebagai bagian dari “Rusia Baru” yang meliputi wilayah Ukraina timur, Odessa dan Transnistria, sebuah klaim yang tidak memiliki fakta mendasar,” tulis RIA, 28 November lalu.
RIA pun menyebut bahwa tidak ada seorang pun pejabat Rusia yang pernah menyebutkan niat Rusia untuk menganeksasi Transnistria. Sebaliknya Rusia aktif mencoba menengahi konflik antara pemerintah Moldovia dengan Transnistria.
Konflik tersebut muncul sejak tahun 1992, ketika Transnistria memisahkan diri dari Moldova karena khawatir Moldova bakal menyatuan diri ke Romania, sebagaimana terjadi di masa lalu hingga tahun 1939. Saat Moldovia masih menjadi bagian Rumania, Transnistria adalah bagian dari Uni Sovyet (Rusia)
Perbedaan sejarah inilah yang membuat terdapatnya perbedaan orientasi politik di antara keduanya.
Pada tahun 2002-2003 melakukan inisiatif perdamaian melalui skema yang disusun oleh utusan Presiden Putin, Dmitry Kozak, yang dikenal dengan nama “Kozak’s plan”. Dalam rencana itu tercapai kesepakatan bagi terjaminnya penyatuan Transnistria di dalam Moldovia dengan status otonomi khusus.
Namun sayangnya rencana itu digagalkan oleh para pejabat Organisasi Kerjasama Eopa (OSCE) di Moldova dan Vladimir Voronin, pemimpin partai komunis Moldova. Para pejabat Rusia mengakui mendapatkan informasi bahwa Uni Eropa tidak menginginkan Rusia berhasil menjadi penjaga perdamaian dan menamkan pengaruhnya di Moldovia.
Paska kegagalan itu, ketegangan antara Moldovia dengan Transnistri pun terus berlanjut, dan bahkan semakin keras akhir-akhir ini setelah pemerintahan pro-Uni Eropa di Chsinau melakukan blokade ekonomi terhadap Transnistria.
Pemilu di Moldova baru-baru ini dipuji-puji sebagai “demokratis”, karena didominasi oleh Aliansi untuk Integrasi Uni Eropa yang berisi satu partai dengan 3 nama: Partai Liberal, Partai Demokrat, dan Partai Demokrat-Liberal. Aliansi ini telah berkuasa sejak tahun 2009 melalui apa yang kemudian ditiru oleh Gerakan Maidan di Ukraina awal tahun ini.
Pada saat itu Moldova dikuasai oleh regim Komunis yang dipimpin Presiden Voronin. Meski berlatar komunis, hal itu tidak menghalangi Voronin untuk memusuhi Rusia, berkat dukungan AS dan Uni Eropa tentunya. Hal itu pula yang mengakibatkan Rusia mengembargo impor anggur dari terhadap Moldovia.
Namun bagi AS dan Uni Eropa, komunisme tetap barang lama yang harus dibuang. Maka, pada pada bulan April 2009 sekelompok mahasiswa “anti-komunis” mendobrak gedung parlemen. Dan meski para demonstran itu melakukan aksi-aksi vandalisme, pejabat dan media-media barat justru menyalahkannya pada pemerintahan Voronin.
Inilah yang dimaksud “pergulatan spionase era Perang Dingin” seperti dituliskan Wall Street Journal. Namun bukan Rusia yang terlibat, melainkan AS dan sekutu-sekutunya, sebagaimana kemudian terulang kembali di Kiev, Ukraina 5 tahun kemudian, dengan bentuk keterlibatan yang semakin kentara ketika Dubes AS dan Asisten Menlu AS turun langsung ke Lapangan Maidan memprovokasi para demonstran.
Apapun konteksnya, tujuan utamanya adalah penyelenggaraan pemilu yang dipercepat untuk menyingkirkan Voronin. Dan hal itu telah tercapai.
“Pemilu tahun 2009 dimenangkan oleh partai-partai yang kemudian membentuk Aliansi untuk Integrasi Uni Eropa, dan sejak itu orang-orang itu tidak pernah mau meninggalkan kekuasaan secara damai di masa mendatang,” kata Svetlana Gamova, pengamat politik Moldovia kepada RIA Novosti.
“Sebenarnya bahkan skema yang sama kemudian diulang kembali di Kiev: pendudukan gedung parlemen oleh massa, pemilu yang dipercepat, dan pengendalian kekuasaan dengan tangan besi,” tambah Gamova yang selama 20 tahun menjadi koresponden surat kabar Moldovia Nezavisimaya Gazeta.
Kemudian untuk memperkuat kekuasaan yang sudah diraih, selanjutnya cara-cara anarkis berbalut jargon “demokrasi” pun dilancarkan. Misalnya baru-baru ini Mahkamah Konstitusi Moldovia mengeluarkan fatwa bahwa “menentang aspirasi penyatuan Moldovia dengan Uni Eropa merupakan tindakan ilegal”, meski hampir separoh warga Moldivia, berdasar jajak pendapat beberapa lembaga, memilih bergabung dengan Rusia.
Lebih jauh, dengan alasan itu pulalah Mahkamah Konstitusi mencoret Partai Patriot dari peserta pemilu.
Hasil akhir pemilu dimenangkan oleh partai Pro-Rusia Party of Socialists of the Republic of Moldova (PSRM) dengan 20,5% suara, disusul oleh Partai Liberal Demokrat dengan 20,16% suara dan partai pimpinan Voronin PCRM dengan 17,48%.
Namun Liberal Demokrat, Partai Liberal dan Partai Demokrat berhasil mendominasi parlemen dengan koalisinya yang mencapai 46% kursi parlemen, belum termasuk partai-partai kecil lain yang bergabung dalam koalisi.
Namun secara tiba-tiba, negara kecil ini menarik perhatian media-media massa utama AS, hanya karena negara ini menggelar pemilihan legislatif tanggal 30 November lalu. Perhatian media-media massa tersebut bahkan lebih besar dari perhatian mereka saat Indonesia menggelar kegiatan yang sama bulan Juli lalu.
Wall Street Journal (WSJ) hari Kamis (27/11) misalnya, menggambarkan kondisi politik negara ini sebagai “pergulatan spionase era Perang Dingin yang melibatkan senjata, gangster dan aparat keamanan Rusia”.
Sementara New York Times (NYT) bahkan lebih serius lagi, dengan memajang monumen perjuangan tentara Uni Sovyet (Rusia) berbentuk tank dengan tulisan: “Monumen militer di Transnistria, bagian dari Moldova yang akan segera dianeksasi Rusia.”
Atas laporan-laporan yang provokasit ini, media Rusia RIA Novosti (Sputnik) menyebutnya sebagai “bentuk absurditas yang disebabkan ketidak fahaman tentang sejarah Moldovia”.
“Tentu saja, bagi New York Times hal ini menunjukkan tanda-tanda keputusa-asaan kedaerahan dan “lampu hijau” bagi penulisan tidak akurat tentang wilayah ini, termasuk kebohongan-kebohongan tentang rencana Rusia untuk menjadikannya sebagai bagian dari “Rusia Baru” yang meliputi wilayah Ukraina timur, Odessa dan Transnistria, sebuah klaim yang tidak memiliki fakta mendasar,” tulis RIA, 28 November lalu.
RIA pun menyebut bahwa tidak ada seorang pun pejabat Rusia yang pernah menyebutkan niat Rusia untuk menganeksasi Transnistria. Sebaliknya Rusia aktif mencoba menengahi konflik antara pemerintah Moldovia dengan Transnistria.
Konflik tersebut muncul sejak tahun 1992, ketika Transnistria memisahkan diri dari Moldova karena khawatir Moldova bakal menyatuan diri ke Romania, sebagaimana terjadi di masa lalu hingga tahun 1939. Saat Moldovia masih menjadi bagian Rumania, Transnistria adalah bagian dari Uni Sovyet (Rusia)
Perbedaan sejarah inilah yang membuat terdapatnya perbedaan orientasi politik di antara keduanya.
Pada tahun 2002-2003 melakukan inisiatif perdamaian melalui skema yang disusun oleh utusan Presiden Putin, Dmitry Kozak, yang dikenal dengan nama “Kozak’s plan”. Dalam rencana itu tercapai kesepakatan bagi terjaminnya penyatuan Transnistria di dalam Moldovia dengan status otonomi khusus.
Namun sayangnya rencana itu digagalkan oleh para pejabat Organisasi Kerjasama Eopa (OSCE) di Moldova dan Vladimir Voronin, pemimpin partai komunis Moldova. Para pejabat Rusia mengakui mendapatkan informasi bahwa Uni Eropa tidak menginginkan Rusia berhasil menjadi penjaga perdamaian dan menamkan pengaruhnya di Moldovia.
Paska kegagalan itu, ketegangan antara Moldovia dengan Transnistri pun terus berlanjut, dan bahkan semakin keras akhir-akhir ini setelah pemerintahan pro-Uni Eropa di Chsinau melakukan blokade ekonomi terhadap Transnistria.
Pemilu di Moldova baru-baru ini dipuji-puji sebagai “demokratis”, karena didominasi oleh Aliansi untuk Integrasi Uni Eropa yang berisi satu partai dengan 3 nama: Partai Liberal, Partai Demokrat, dan Partai Demokrat-Liberal. Aliansi ini telah berkuasa sejak tahun 2009 melalui apa yang kemudian ditiru oleh Gerakan Maidan di Ukraina awal tahun ini.
Pada saat itu Moldova dikuasai oleh regim Komunis yang dipimpin Presiden Voronin. Meski berlatar komunis, hal itu tidak menghalangi Voronin untuk memusuhi Rusia, berkat dukungan AS dan Uni Eropa tentunya. Hal itu pula yang mengakibatkan Rusia mengembargo impor anggur dari terhadap Moldovia.
Namun bagi AS dan Uni Eropa, komunisme tetap barang lama yang harus dibuang. Maka, pada pada bulan April 2009 sekelompok mahasiswa “anti-komunis” mendobrak gedung parlemen. Dan meski para demonstran itu melakukan aksi-aksi vandalisme, pejabat dan media-media barat justru menyalahkannya pada pemerintahan Voronin.
Inilah yang dimaksud “pergulatan spionase era Perang Dingin” seperti dituliskan Wall Street Journal. Namun bukan Rusia yang terlibat, melainkan AS dan sekutu-sekutunya, sebagaimana kemudian terulang kembali di Kiev, Ukraina 5 tahun kemudian, dengan bentuk keterlibatan yang semakin kentara ketika Dubes AS dan Asisten Menlu AS turun langsung ke Lapangan Maidan memprovokasi para demonstran.
Apapun konteksnya, tujuan utamanya adalah penyelenggaraan pemilu yang dipercepat untuk menyingkirkan Voronin. Dan hal itu telah tercapai.
“Pemilu tahun 2009 dimenangkan oleh partai-partai yang kemudian membentuk Aliansi untuk Integrasi Uni Eropa, dan sejak itu orang-orang itu tidak pernah mau meninggalkan kekuasaan secara damai di masa mendatang,” kata Svetlana Gamova, pengamat politik Moldovia kepada RIA Novosti.
“Sebenarnya bahkan skema yang sama kemudian diulang kembali di Kiev: pendudukan gedung parlemen oleh massa, pemilu yang dipercepat, dan pengendalian kekuasaan dengan tangan besi,” tambah Gamova yang selama 20 tahun menjadi koresponden surat kabar Moldovia Nezavisimaya Gazeta.
Kemudian untuk memperkuat kekuasaan yang sudah diraih, selanjutnya cara-cara anarkis berbalut jargon “demokrasi” pun dilancarkan. Misalnya baru-baru ini Mahkamah Konstitusi Moldovia mengeluarkan fatwa bahwa “menentang aspirasi penyatuan Moldovia dengan Uni Eropa merupakan tindakan ilegal”, meski hampir separoh warga Moldivia, berdasar jajak pendapat beberapa lembaga, memilih bergabung dengan Rusia.
Lebih jauh, dengan alasan itu pulalah Mahkamah Konstitusi mencoret Partai Patriot dari peserta pemilu.
Hasil akhir pemilu dimenangkan oleh partai Pro-Rusia Party of Socialists of the Republic of Moldova (PSRM) dengan 20,5% suara, disusul oleh Partai Liberal Demokrat dengan 20,16% suara dan partai pimpinan Voronin PCRM dengan 17,48%.
Namun Liberal Demokrat, Partai Liberal dan Partai Demokrat berhasil mendominasi parlemen dengan koalisinya yang mencapai 46% kursi parlemen, belum termasuk partai-partai kecil lain yang bergabung dalam koalisi.
No comments:
Post a Comment