Dunia
feminisme begitu berkembang menjadi dinamika gender dalam kehidupan
manusia. Kegagahan kaum maskulin berubah arif di hadapan kaum perempuan.
Gemerlap kewibawaan maskulin seolah diseimbangi oleh sepak terjang kaum
feminis, tak terkecuali gerakan modern feminisme di Indonesia. Kita
banyak mengenal segudang perempuan hebat pada zamannya yang tak pernah
surut mencipta segala ide kesetaraan gender. Kungkungan adat-istiadat
budaya timur mengiringi perjalanan perempuan-perempuan hebat Indonesia
untuk terus memperjuangkan kesamaan hak sesuai perkembangan zaman. Dalam
catatan sejarah, tertoreh beberapa nama perempuan hebat yang pernah
dimiliki bangsa ini. Mulai dari Malahayati, Martha Christina Tiahahu,
Dewi Sartika, RA, Kartini, Rasuna Said dan sebagainya.
Pemikiran
modern mereka tidak lepas dari status sosial yang disandang hingga
peluang serta kesempatan mampu diraih mereka meski harus selalu
berbenturan dengan budaya ketimuran. Jiwa-jiwa memberontak atas
ketertidasan adalah modal bagi kaum perempuan untuk terus berperang
batin demi menciptakan mimpi agar kelak ada pengakuan dari kaum pria akan keberadaan perempuan dalam menyumbangkan kehidupan manusia yang lebih baik.
Dalam
catatan sejarah Indonesia, bangsa kita tidak bisa melepaskan begitu
saja peran aktif perempuan-perempuan yang gencar memperjuangkan
kemerdekaan. Organisasi
perempuan Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1879 sampai 1904 yang
dipelopori oleh RA. Kartini. Kemunculan organisasi tersebut memiliki
arti besar sebagai sumbangsih terhadap ketercapaian kemerdekaan. Kontribusi
penting yang mereka lakukan semula hanya berkisar pada tataran
persamaan gender (kesamaan hak). Persamaan derajat, pengakuan, dan
perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan adalah hal mendasar dalam
perjalanan kehidupan manusia. Mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum
perempuan mampu mewarnai masa pergerakan kebangsaan saat itu.
Selain
Kartini, Dewi Sartika juga menjadi pelopor gerakan perempuan di Jawa
Barat. Ia mendirikan sekolah Keutamaan Isteri untuk kaum perempuan di
Jawa Barat. Di Minahasa pelopor gerakan perempuan dari Minahasa adalah
Maria Walanda Maramis yang belajar bahasa Belanda dari suaminya, Yosef
Walanda. Berkat pengetahuannya, ia sadar akan nasib kaum perempuan
Minahasa yang jauh tertinggal. Maka pada tahun 1927, ia berjuang dan
berhasil mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak
Temurunnya).
Pada
masa-masa berikutnya, kesadaran perempuan Indonesia untuk hidup lebih
baik makin terbuka lebar. Ditandai dengan keberadaan
organisasi-organisasi perempuan yang semakin banyak berdiri. Organisasi
perempuan yang muncul semisal;
- Perkumpulan Kartinifonds di Semarang,
- Putri Merdika di Jakarta,
- Wanita Rukun Santoso di Malang,
- Maju Kemuliaan di Bandung,
- Budi Wanito di Solo,
- Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, Sumatera Barat,
- Serikat Kaum Ibu Sumatera di Bukit Tinggi,
- Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwenvereniging di Sulawesia Utara,
- Ina Tuni di Ambon, dan lain-lain.
Selain
itu, terdapat juga organisasi perempuan yang merupakan bagian dari
induk organisasi yang lebih besar. Organisasi perempuan tersebut antara
lain;
- Aisiyah (Wanita Muhammadiyah),
- Puteri Indonesia (Wanita dari Pemuda Indonesia),
- Wanita Taman Siswa.
Organisasi
perempuan yang bergerak di bidang politik antara lain Isteri Sedar yang
didirikan di Bandung oleh Suwarni Jayaseputra. Organisasi ini bertujuan
untuk mencapai Indonesia merdeka. Sedangkan organisasi Isteri Indonesia
pimpinan Maria Ulfah dan Ibu Sunaryo Mangunpuspito bertujuan untuk
mencapai Indonesia Raya.
Organisasi-organisasi
tersebut mengadakan Kongres Persatuan Wanita (Perempuan) Indonesia di
Yogyakarta pada tanggal 22 sampai 25 Desember 1928. Hari pembukaan
kongres tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Dalam kongres
tersebut dibentuk juga PPII (Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia)
sebagai kumpulan organisasi perempuan.
Lintasan
sejarah pergerakan perempuan Indonesia bukan lagi menjadi asing
terhadap pengakuan peran perempuan. Bukti nyata keberadaan toko-tokoh
perempuan Indonesia berbaur pada penyematan posisi perempuan sebagai
kelompok terhormat yang tidak berhenti menggapai emansipasi. Namun
sering kali peran serta perempuan Indonesia terhenti hanya karena
pemaknaan siapakah tokoh dibalik munculnya ide emansipasi perempuan
Indonesia. Selalu saja kesimpulan tersebut meletakan RA. Kartini selaku
ibu perempuan Indonesia, pioneer serta pencetus ide emansipasi
Indonesia. Keagungan nama Kartini telah disematkan sebagai hari Kartini
sesuai dengan tanggal kelahirannya. Padahal, masih banyak tokoh
perempuan lain yang bisa jadi lebih dulu ada dan terus menerus berusaha
menembus kungkungan adat guna memperjuangkan keberadaan mereka agar
terlihat di hadapan kaum pria. Contoh saja, Malahayati, nama lengkapnya
Keumalahayati dari Aceh dan Martha Christina Tiahahu dari Ambon.
Keberanian dua tokoh di atas dalam memimpin perang di tanah kelahiran
untuk mendepak kaum imperialis Barat merupakan cikal bakal keberadaan
peran perempuan di tengah-tengah kaum maskulin. Seorang Laksaman laut
yang akibat keberaniannya berhasil membunuh Cornelis De Houtman yang
ingin menguasai Bandar dagang di Kesultanan Aceh. Lalu Martha Christina
Tiahahu, juga merupakan perempuan hebat dari Ambon yang berhasil
menggempur pasukan Belanda ketika bercokol di Pulau Saparua, Maluku
Tengah.
Lantas
bagaimana peran Kartini? Begitu hebatkah Kartini hingga cermin
emansipasi perempuan Indonesia selalu dikaitkan dengan nama besarnya?
Paparan di atas bukan juga ingin mengkerdilkan salah satu perempuan
hebat sekelas Kartini. Akan tetapi kita perlu meluruskan bahwa
keberadaan emansipasi perempuan di tanah air harus dimulai dari
tokoh-tokoh hebat pendahulu Kartini yang juga lebih dulu berperan
menunjukkan jati diri perempuan sebagai bagian dari kehidupan tanpa
melompati keberadaan kaum pria. Mereka lebih dulu ada bahkan lebih dulu
mewujudkan mimpi untuk memperlihatkan pada dunia akan kehebatannya.
Pencitraan
Kartini dilakukan oleh kelompok dominan secara hiperbolis melalui
buku-buku sejarah dan ritual setiap tanggal 21 April. Lewat buku-buku
sejarah yang diajarkan di sekolah, Kartini dianggap sebagai sosok
perempuan terhebat di Indonesia. Dia dianggap pemikir kemajuan dan
pembebas kaum perempuan pribumi dari kebodohan dan keterbelakangan.
Sosok Kartini juga dianggap sebagai perempuan yang mampu melawan
belenggu feodalisme, kawin paksa dan poligami serta sejumlah penindasan,
sehingga kedudukannya begitu diagungkan dalam sejarah Indonesia.
Dibalik itu semua, ada
hal yang berusaha dielakkan tentang bagaimana hidup Kartini sebenarnya.
Perang batin di diri Kartini seyogyanya menjadi cermin kehebatan Kartini
yang hanya mampu dia tuliskan dalam surat-suratnya kepada para sahabat
Belanda Kartini, seperti Ny
J Rosa Abendanon, Stella Zeenhandelaar, Ny N Van Kol, GK Anton dan
lainlain. Penolakan poligami, adat ‘pingitan’ bagi perempuan Jawa
sebelum dinikahkan sehingga perempuan Jawa dianggap tidak perlu
bersekolah karena jodoh mereka sudah ditentukan oleh keluarga. Kritikan
Kartini terhadap poligami yang sering dilakukan oleh priyayi Jawa serta
keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan,
seperti mimpi yang tidak kesampaian. Imajinasi Kartini lewat
tulisan-tulisannya inilah, pada akhirnya membuat Ny. Abendanon berupaya
mewujudkan dalam sebuah buku berbahas Belanda berjudul ‘Door Duisternis
tot Licht’ yang secara harfiah berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya.
Pada tahun 1922, buku ini diterbitkan dalam bahasa Melayu oleh Balai
Pustaka dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pada
kenyataannya, semua ide Kartini memperjuangkan kesetaraan gender
(emansipasi), seolah mimpi yang tak berkesudahan (Bulan Merindu).
Kartini tetap harus menjalani ‘pingitan’ sebelum dinikahkan dengan
Adipati Rembang. Sekolah untuk perempuan sebagai bagian cita-citanya
tidak terwujud. Dan malangnya lagi kebencian Kartini terhadap kebiasaan
priyayi Jawa yang berpoligami, membawa Kartini menjadi salah satu istri
dari Adipati Rembang.
Tetap
saja, mainstream Kartini terhadap cita-citanya meraih kesetaraan
gender, tidak lantas dianggap sebagai pola pikiran modern perempuan pada
zamannya. Satu hal lagi yang terlepas dari perdebatan, adakah kita tahu
bahwa Kartini sudah menjadi perempuan Jawa yang memposisikan dirinya
sebagai sosok perempuan modern Eropa yang menganggap perempuan pribumi subaltern (lemah,
bodoh dan terbelakang). Hal ini pernah disampaikan penulis seperti
Misbahus Surur (2006) melukiskan Kartini sebagai seorang ‘perempuan
pemimpi’. Kartini hanya mampu bermimpi dan impiannya itu hanya bersifat
utopia belaka. Kartini juga dianggap menganut pola pikir yang dikotomik
yang mendiskriminasi perempuan pribumi sebagai kelompok subaltern.
Penulis seperti Gadis Arivia (2003) melihat bahwa Kartini yang
bersentuhan dengan pengetahuan Barat, justru memposisikan dirinya
sebagai perempuan barat yang modern dan maju, sedangkan perempuan
pribumi dianggap sebagai subaltern.
Kartini
muda membeci budaya Patriarhi Jawa tetapi terjebak pada budaya
Patriarhi Jawa yang tertindas, bodoh dan terbelakang. Menolak poligami,
kawin paksa, bermimpi mendirikan sekolah, serta menjadikan dirinya
perempuan pemikir modern namun terjebak pada situasi yang bertolak
belakang dari mimpinya.Meski demikian, Kartini telah menjadi bagian
Pahlawan Nasional Indonesia yang tercatat dalam Untaian Sejarah Bangsa
sebagai Pelopor Emansipasi Perempuan Indonesia. Melalui Kartini pula
kita bisa meninjau ulang atas peran perempuan. Perbandingan peran
Kartini terhadap tokoh-tokoh perempuan pejuang sebelum dia, sudah
bermuara pada pengenalan sejarah bangsa. Dengan begitu pro-kontra
Kartini sebagai ibu emansipasi perempuan Indonesia mengawali peninjauan
kembali sejarah perempuan Indonesia. Sehingga diharapkan Historiografi
Perempuan Dalam Sejarah telah berwarna disebabkan oleh pro dan kontra
atas sosok Kartini.
Rekam
Jejak sejarah perempuan Indonesia akan lebih berperan andil dalam
menciptakan gambaran bagaimana selayaknya kita bertindak. Tetap saja
perempuan pada kasus-kasus tertentu menjadi kelompok marginal yang
dikorbankan. Dengan memposisikan perempuan sesuai dengan kodratnya,
keterwakilan perempuan di segala bidang kehidupan harus terus
diperjuangkan. Kaum perempuan wajib menyadari bahwa kita dan mereka
sudah sepantasnya merubah mindset demi melahirkan generasi baru yang
lebih baik. Dari perempuan akan muncul generasi tangguh yang mewariskan
ketangguhan ibunya. Dunia ini tidak akan mampu berjalan tanpa kehadiran
kaum feminis yang memanfaatkan peluang tanpa lari dari kodrat Tuhan.
No comments:
Post a Comment