Seharusnya kita, rakyat
Indonesia pendukung pilkada langsung sadar bahwa ketika SBY melalui
akun YouTube-nya, pada Minggu, 14 September 2014 menyatakan sikapnya
bahwa dia (tentu saja otomatis Partai Demokrat) telah mengambil sikap
untuk mempertahankan pilkada langsung, karena itulah yang sangat
diinginkan rakyat, sesungguhnya dia sedang mengulangi taktiknya
membohongi parpol-parpol pendukung pilkada langsung (PDIP cs), dan terutama kita, rakyat Indonesia. Parpol-parpol sebesar PDIP saja bisa diperdayai, apalagi rakyat biasa.
Taktik Lama SBY
Taktik yang sama
sebetulnya pernah SBY lancarkan ketika menjelang Pilpres 2014, yaitu
dalam beberapa pernyataannya yang memberi indikasi kuat bahwa pihaknya
tidak bakal mendukung dan memilih Prabowo-Hatta. Hal itu tercermin
antara lain dengan pernyataannya bahwa dia tidak akan memilih calon
presiden yang berbahaya bagi bangsa dan negara. Meskipun tidak
menyebutkan nama, jelas yang dimaksudnya adalah Prabowo Subianto. Karena
ketika itu SBY menyampaikan pernyataannya itu disertai dengan
sindirannya ada calon yang manifesto politik parpol-nya ingin UUD 1945
dikembalikan seperti sebelum amandemen, dan anti terhadap
investor-investor asing yang dikatakan telah menguasai Republik ini.
Hanya Gerindra-lah yang mempunyai manifesto politik sepert itu.
Di lain kesempatan SBY
juga menyatakan bahwa Partai Demokrat memutuskan netral, artinya tidak
berkoalisi dengan PDIP/Jokowi, maupun dengan Gerindra/Prabowo. Faktanya,
para petinggi dan kader Demokrat dalam sikapnya berpihak kepada
Gerindra/Prabowo, dan dibiarkan. Mungkin diam-diam diapun bersikap yang
sama. Bahkan saat pencoblosan, mungkin SBY memilih Prabowo.
Mundur lagi ke
belakang, putusnya hubungannya dengan Megawati, berawal dari
ketidakjujuran SBY ketika ditanya Megawati yang waktu itu menjadi
atasannya (Megawati presiden, SBY menteri), menjelang Pilpres 2004.
Waktu itu lebih dari sekali Megawati meminta konfirmasi kepada SBY,
apakah benar diaakan ikut mencalonkan diri sebagai presiden. SBY
menjawabnya, tidak. Ternyata, diam-diam dia sedang menyusun strateginya
untuk mencalonkan diri di Pilpres 2004, bersaing dan berhasil
mengalahkan Megawati.
Ketika itu strategi
yang dijalankan SBY adalah strategi mengambil hati rakyat Indonesia,
yang dilakukan dengan menempatkan dirinya sebagai korban yang dizalimi
Megawati. Mayoritas pemilih di Pilpres 2004 itu berhasail diperdayai,
sehingga memilihnya, dan dia menang. Sejak itu SBY berkali-kali
menggunakan strategi sebagai “korban yang zalimi”, sasaran teroris, dan
lain-lain, untuk mendapat simpatik dari publik, tetapi lama-kelamaan
sudah tidak mempan lagi. Karena rakyat jenuh dan mulai muak dengan
taktik yang terus diulang-ulang itu. Strategi itu menjadi bumerang
baginya, setiap kali dia curhat ke publik, bukan simpatik yang didapat,
melainkan antipati dan kecaman.
Saya pernah mengkritik sikap Megawati yang ngotot
tidak mau berdamai dengan SBY, dari 2004 sampai sekarang, ternyata
Megawati benar, saya keliru. SBY memang sosok yang tidak bisa dipercaya.
Orangnya kelihatan saja lembut dan bijak di depan, tetapi di
belakangnya sebaliknya.
Puncak dari sikapnya
ini ditunjukkan menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden. Dengan
mewariskan kembalinya sebagian kekuatan Orde Baru melalui Pilkada tidak
langsung.
Seharusnya memang
sejak awal kita tidak percaya dengan SBY dalam hal RUU pilkada ini.
Karena sejak awal, bukankah SBY-lah inisiator dari hasrat untuk mengubah
sistem pilkada langsung oleh rakyat menjadi kembali pilkada oleh DPRD?
Karena Kader Demokrat Selalu Kalah di Pilkada
Inisiatif SBY itu
berawal dari Juni 2012. Kemungkinan besar inisiatif SBY itu didasarkan
kepada kekhawatirannya bahwa di hampir semua pilkada langsung,
kader-kader Demokrat selalu kalah. Hal ini diyakini sebagai dampak dari
tertangkapnya mantan bendahara DPP Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin,
pada 7 Agustus 2011, setelah dinyatakan buron oleh KPK sejak April
2011. Tertangkapnya Nazaruddin dengan “nyanyian mautnya” berhasil
menyokot petinggi-petinggi lainnya di Demokrat. Satu persatu petinggi
Demokrat, ditangkap dan dipenjarakan KPK. Akibatnya, kredibilitas
Demokrat terjun bebas di mata rakyat. Dampaknya hampir di semua pilkada,
kader (yang didukung) Demokrat kalah.
Semakin khawatir
dengan fenomena ini, yang memunculkan ide SBY untuk berinisiatif
mengajukan perubahan UU Pilkada tersebut. Dengan dasar pertimbangan, di
pilkada langsung, semakin tipis kader Demokrat bisa menang, karena
rakyat sudah tidak percaya lagi kepada mereka. Rakyat tidak bisa diatur.
Tetapi, kalau di DPRD, pasti semua itu bisa diatur.
Ketika mengajukan
inisiatif dan naskah akademik RUU Pilkada yang isinya pilkada diubah
menjadi melalui DPRD, pada 6 Juni 2012, semua parpol, termasuk Gerindra cs
menolaknya. Dalam rentang waktu pembahasan RUU tersebut selama dua
tahun ini, pemerintah dua kali mengubah usulannya. Awalnya mengusulkan
gubernur dipilih oleh DPRD, bupati/walikota dipilih langsung. Berubah
menjadi sebaliknya, gubernur dipilih langsung, bupati/walikota dipilih
oleh DPRD.
Setelah Prabowo kalah
di Pilpres 2014, yang dikuatkan oleh MK pada 21 Agustus 2014, Gerindra
dan parpol-parpol pendukungnya yang bergabung di Koalisi Merah Putih
tiba-tiba berubah sikapnya 180 derajat. Mereka segera memanfaatkan RUU
Pilkada tersebut dengan mendukung semua kepala daerah harus dipilih oleh
DPRD. Tentu saja dengan maksud dan strategi politik tersembunyi
terhadap pemerintahan Jokowi-JK, mengepung Jokowi dari seluruh daerah,
melemahkannya, bilamana perlu melengserkannya di tengah jalan. Amien
Rais pernah mengutarakan agendanya untuk dalam satu tahun akan
melengserkan Jokowi.
Strategi Licik SBY
SBY sebenarnya
diam-diam sangat senang, karena KMP malah mendukung lebih dari apa yang
diainginkan, yaitu bukan hanya gubernur, atau bukan hanya
bupati/walikota, tetapi dua-duanya, yaitu gubernur dan bupati/walikota
harus dipilih oleh DPRD. Tetapi, seiring dengan itu pula, semakin besar
pula penolakan dari rakyat terhadap pilkada tidak langsung. Tentu, SBY
tidak berani terang-terangan menentang kehendak rakyat itu, mengingat
citranya selama 10 tahun menjadi presiden relatif cukup baik. SBY adalah
sosok yang sangat mementingkan pencitraan, dia tentu tak mau citranya
rusak di mata rakyat, tetapi itulah yang kini terjadi.
SBY sangat pintar
menyembunyikan perasaan sebenarnya, sambil diam-diam menyusun strategi
baru, bagaimana caranya untuk tetap bisa tampil dengan pencitraan
sebagai presiden yang perduli terhadap aspirasi rakyat banyak, tetapi
bersamaan dengan itu mendukung pilkada tidak langsung.
Pada Minggu, 14
September 2014 itu dimulailah strategi dan sandiwara politik itu. Dengan
memanfaatkan akun YouTube-nya, “Suara Demokrasi”, SBY menyatakan bahwa
dia mendukung untuk mempertahankan Pilkada langsung oleh rakyat.
Alasannya secara historis, pilkada langsung sudah sangat sesuai dengan
aspirasi rakyat.
Sandiwara dilanjutkan
oleh Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan, yang melalui konferensi
persnya beberapa hari setelah pernyataan SBY itu, menyatakan mendukung
sepenuhnya pilkada langsung, dengan embel-embel pilkada langsung
dipertahankan dengan sepuluh perbaikan yang harus dilakukan.
Setelah itu, tibalah
permainan sandiwara puncak digelar. Tempatnya di gedung DPR-RI, Senayan,
Jakarta Pusat, waktunya, Kamis, 25 September – 26 September 2014 dini
hari, melalui penyampaian pendapat oleh fraksi-fraksi, perdebatan dan
lobi-lobi yang alot dan melelahkan.
Dalam penyampaian
pendapatnya, Partai Demokrat menyatakan mendukung mempertahankan pilkada
langsung tetapi harus dengan syarat mutlak, yaitu DPR harus setuju
dengan 10 syarat yang disebutkan itu. Padahal sebelumnya 10 syarat itu
tidak pernah disinggung, apalagi sebagai syarat mutlak. Dengan usulan
Demokrat itu, maka akan terdapat tiga opsi, yaitu opsi pilkada tetap
langsung oleh rakyat, pilkada tidak langsung (oleh DPRD), dan ketiga
pilkada langsung dengan 10 syarat mutlak yang disampaikan Demokrat itu.
Sangat gampang ditebak, Demokrat sengaja menyampaikan 10 syarat mutlak itu, karena mereka yakin, semua fraksi, termasuk PDIP cs,
pasti menolaknya. Oleh karena itu ketika juru bicara Demokrat, Benny
Kabur Harman menyampaikan pendapat dan usulanya itu, dan langsung
didukung sepenuhnya oleh PDIP dan PKB, tanpa dapat dicegah, spontan
Benny menunjukkan ekspresi terkejut. Dia kaget luar biasa, PDIP, PKB dan
Hanura malah mendukung usulannya yang diharapkan akan ditolak PDIP cs itu.
Skenario Demokrat
adalah sebagai berikut, jika opsi ketiga itu disetujui untuk ikut
dimajukan dalam voting, maka pasti semua anggota Fraksi Demokrat akan
memilih opsi ketiga mereka ini. Jadi, tidak ada tambahan suara dari
Demokrat untuk opsi pertama. Perhitungan Demokrat, PDIP cs akan tidak setuju dengan opsi pilkada dengan 10 syarat mutlak itu. PDIP, PKB dan Hanura diyakini
akan tetap bertahan dengan opsi pertamanya. Dengan demikian mereka
pasti kalah suara dengan KMP ketika voting diadakan. Maka itu Benny
spontan kaget ketika PDIP, PKB, dan Hanura justru menyatakan setuju ikut
mendukung opsi ketiga Demokrat itu. Karena. jika voting dilakukan, opsi
pertama bisa saja nol suara, beralih semuanya ke opsi ketiga. Padahal
aslinya SBY dan Demokrat hanya ingin opsi kedua yang menang. Maka,
tidak ada jalan lain, selain plan B dilaksanakan: Demokrat harus segera walkout, agar PDIP, PKB dan Hanura berhadapan sendiri dengan KMP. Dengan demikian PDIP cs itu sudah pasti kalah. Dan, itulah yang terjadi.
Maka itulah, Benny
terpaksa melanjutkan sandiwara Demokrat, meskipun PDIP, PKB, dan Hanura
dengan jelas-jelas menyatakan mendukung opsi ketiga itu. “Sebagai
partai yang menjunjung tinggi kesantunan, kami tidak ingin keberadaan
kami menjadi persoalan. … Dengan demikian, kami mengambil sikap netral
dan walkout dari persidangan,” kata Benny disambut dengan tepuk tangan riuh dari fraksi-fraksi di KMP.
Karena tidak punya alasan yang tepat atas tindakan walkout itu, maka Benny asal bunyi saja, ketika ditanya wartawan, kenapa sudah didukung PDIP, PKB, dan Hanura, kok malah walkout? Kalau tidak walkout,
kan pasti pilkada langsung (meskipun dengan 10 syarat) itu yang menang?
Benny beralasan, dukungan ketiga parpol itu hanyalah pura-pura, lip service saja. Apa indikasinya kalau dukungan itu hanya pura-pura? Sesuatu yang sangat tidak mungkin, karena kalau PDIP cs itu hanya pura-pura mendukung, malah itu merugikan mereka sendiri, karena pasti kalah ketika voting dilakukan.
Juga, bagaimana bisa
dia mengatakan khawatir keberadaan Demokrat menjadi persoalan, kalau
keberadaan mereka justru sangat penting dan dibutuhkan agar opsi pilkada
langsung itulah yang menang?
Kemungkinan besar, yang dimaksud Benny dengan “kerberadaan Demokrat bisa menjadi persoalan” itu ada;ah persoalan bagi KMP.
Kepastian Demokrat
sedang bermain sandiwara memngkadali rakyat, diperkuat dengan tidak
beraninya Syarif Hasan dan Ibas untuk melayani wawancara watawan. Kedua
petinggi Demokrat itu memilih menghindar dari wartawan. Kalau tidak
merasa bersalah, kenapa takut dengan wartawan? Ternyata Demokrat itu,
berani berbuat, tetapi tidak berani bertanggung jawab. Sudah licik,
pengecut pula!
SBY Selalu Berseberangan dengan KPK
Jelaslah sudah, di
penghujung masa jabatannya sebagai presiden, SBY telah berperan penting
untuk mengembalikan kekuatan Orde Baru kepada rakyat, yang dulu dengan
mati-matian disingkirkan oleh rakyat pada Mei 1998. Hal ini tidak
sepenuhnya mengherankan, karena bagaimana pun masih ada bibit-bibit Orde
Baru pada dirinya, sama dengan tokoh-tokoh penting lainnya di KMP:
Prabowo Subinato, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, dan juga Amien Rais,
sang reformis bunglon.
Demikian juga semakin
jelas sikap SBY dan Demokrat yang sesungguh selalu bertentangan sikap
dengan KPK, cocok benar dengan sikap umumnya parpol-parpol di KMP,
terutama PKS, yang sebenarnya sangat ingin KPK dibubarkan.
KPK secara nyata-nyata
menentang pilkada tidak langsung, karena menurut KPK berdasarkan
pengalaman mereka dalam melakukan berbagai penyidikan kasus korupsi,
justru pilkada oleh DPRD-lah yang akan semakin menyuburkan korupsi.
Yaitu melalui kongkalikong kepala daerah dengan DPRD. Karena setelah
terpilih dan sepanjang menjadi kepala daerah, keterikatan dan hutang
budi antara kepala daerah dengan DPRD itu tetap ada. Kepala daerah akan
selalu tunduk pada apa maunya DPRD, kalau tidak ingin diganggu, atau
dilengserkan oleh DPRD.
Sebelumnya
akhirnya opsi pilkada tidak langsung yang menang, pada Kamis (25/9)
malam, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menilai, argumentasi bahwa
kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat cenderung melakukan
korupsi tidaklah tepat. Bambang mengatakan, anggota DPRD yang terjerat
korupsi selama ini justru lebih banyak daripada kepala daerah.
“Berdasarkan
data Djohermansyah Johan (Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian
Dalam Negeri), kepala daerah yang kena kasus korupsi 290 orang. Data
kita, DPRD yang kena itu sudah 3.600-an. Waduh berarti 1
tahun 300 tuh dengan jumlah kabupaten dan kota yang sama. Artinya yang
paling korup DPRD-nya dong?” kata Bambang.
“Kalau
kekuasaan diberikan kepada orang korup itu dengan sistem pemilihan tak
langsung, selesailah. Ketemulah dua kekorupannya,” ujar Bambang.
Bambang
menambahkan, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah cenderung
terjadi setelah pilkada sehingga tidak berkaitan dengan proses pilkada
langsung. Dia mencontohkan kasus penyuapan beberapa kepala daerah kepada
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mokhtar untuk memenangi sengketa
pilkada.
“Dari situ dapat kita simpulkan, korupsi kepala daerah tidak ada hubungannya dengan pemilihan langsung,” ujarnya. (Kompas.com)
*
Perjuangan
belum selesai, saya yakin RUU PIlkada dengan sistem pilkada tidak
langsung itu pasti akan segera digugat ke Mahkamah Konstitusi setelah
disahkan. Dan, saya percaya MK akan lebih mendengar aspirasi rakyat
daripada DPR dan SBY.
Sebagai
hukumannya, kita, rakyat pendukung pilkada langsung, harus lebih tegas
dan total, untuk menghukum semua parpol pendukung pilkada tidak langsung
itu, dengan tidak akan memilih mereka di pemilu 2019.
SBY
pasti sedang berbohong, ketika dari Washington DC, Amerika Serikat,
menyampaikan kekecewaannya atas menangnya pilkada tidak langsung. Kalau
sungguh-sungguh diakecewa, pasti sejak awal diatak akan pernah
mengizinkan Demokrat walkout dari ruang sidang DPR itu, karena SBY pasti tahu dengan tindakan walkout itu justru memberi kemenangan kepada pilkada tidak langsung. Buktinya, SBY sama sekali tidak mempermasalahkan tindakan walkout itu. Saya percaya, kalau dikatakan walkout itu sebenarnya merupakan bagian strategi kunci dari SBY sendiri.
Dari
ulasan tersebut di atas, rasanya tidak berlebihan jika saya katakan,
“SBY adalah presiden paling licik yang pernah dimiliki Indonesia”.
SBY akan
dicatat dalam sejarah Republik ini, sebagai presiden yang berperan
penting berhasil mengembalikan sebagian kekuatan Orde Baru kepada
rakyatnya melalui pilkada tidak langsung. SBY adalah “Bapak Pilkada
Tidak Langsung”. ***