Vladimir Putin boleh saja membantah telah menggertak Presiden Komisi
Eropa Jose Manual Barroso dalam pembicaraan mereka via telepon atau membantah berbagai tuduhan tentang keterlibatan
pasukan Rusia dalam konflik di Ukraina.
Namun faktanya telah terjadi perubahan keseimbangan yang sangat signifikan di medan perang Ukraina timur. Dari kondisi terdesak dan terkepung di 2 kota utama di Ukraina timur, Donetsk dan Luhansk, para pemberontak kini justru menjadi pengendali jalannya pertempuran.
Selain mengusir pasukan Ukraina dari sekitar kota Luhansk dan Donetsk, pemberontak kini justru mengepung ribuan pasukan Ukraina di tiga lokasi di Provinsi Donetsk. Dan setelah merebut 2 kota di pinggir Laut Azov, kini para pemberontak berusaha merebut kota pelabuhan Mariupol yang strategis.
Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan langsung Rusia yang juga dibenarkan oleh media massa Rusia sendiri.
“Apakah Kita Sedang Berperang (di Ukraina)?” Tulis editorial koran Vedomosti, merujuk pada beberapa upacara pemakaman secara militer yang dilakukan diam-diam dan tertangkapnya 10 prajurit Rusia di Ukraina.
“Agresi langsung dan terbuka telah dilancarkan terhadap Ukraina dari negara tetangga. Ini telah mengubah situasi di zona konflik secara radikal,” kata Presiden Ukraina Petro Poroshenko di Akademi Militer Kiev.
Mikhail Popov, penasihat militer pemerintah Rusia di Dewan Keamanan Nasional, kepada media massa Rusia RIA Novosti, mengatakan bahwa Rusia telah mengubah strateginya melawan NATO sebagai dampak dari krisis di Ukraina.
“Tindakan-tindakan NATO yang terencana merupakan bukti dari keinginan pare pemimpin AS dan NATO untuk melanjutkan kebijakan agresif kepada Rusia,” kata Popov, merujuk pada pengerahan kekuatan NATO di negera-negara yang berbatasan dengan Rusia terkait dengan krisis Ukraina.
Atas kesadaran itu maka dipercaya, Rusia telah mengubah strateginya menghadapi NATO, dan hal itu terlihat di Ukraina.
Menjelang pertemuan tingkat tinggi NATO di Wales, Inggris bulan ini, Rusia telah memberi sinyal untuk melakukan respon atas rencana NATO yang akan menggelar pasukan gerak cepat di negara-negara yang berdekatan dengan Rusia.
Menurut Popov, langkah NATO itu, bersama dengan rencana penggelaran sistem pertahanan rudal serta konflik Ukraina yang dianggap sebagai bentuk prokokasi NATO, telah mengubah strategi Rusia.
NATO mengumumkan rencana penggelaran pasukan gerak cepat berkekuatan beberapa ribu personil untuk melindungi negara-negara anggota NATO, terutama di Eropa timur, dari kemungkinan serangan Rusia. Pasukan yang personilnya disediakan oleh anggota NATO secara bergilir itu direncanakan untuk siap digelar dalam waktu kurang dari 48 jam.
Sekjen NATO Rasmussen, dalam pengumuman pembentukan pasukan itu menyebutkan alasannya: “Kita harus menghadapi kenyataan bahwa Rusia tidak menganggap NATO sebagai mitra.”
Rasmussen membantah tuduhan pasukan itu melanggar perjanjian Nato-Russia Founding Act tahun 1997, yang melarang adanya pangkalan permanen NATO di Eropa Tengah dan Timur.
Laporan pertama intervensi langsung Rusia di Ukraina muncul bersamaan dengan misi bantuan kemanusiaan Rusia ke Ukraina bulan lalu. Bersamaan dengan truk-truk bantuan Rusia yang menerobos perbatasan Ukraina, konvoi kendaraan militer Rusia juga dikabarkan ikut menerobos sebelum dihentikan oleh pasukan Ukraina setelah sempat terjadi tembak-menembak.
Sejak itu laporan demi laporan keberadaan pasukan Rusia dengan peralatan beratnya semakin terjadi, seiring dengan meningkatnya offensif pemberontak.Minggu lalu NATO merilis gambar satelit yang menunjukkan konvoi militer Rusia yang berada di wilayah Ukraina, hal mana dibantah pejabat Rusia yang menuduh gambar tersebut adalah rekayasa yang dilakukan perusahaan operator satelit Eropa.
Pada hari Senin (1/9) Jubir Militer Ukraina Andriy Lysenko mengklaim pasukan Ukraina mendapat serangan oleh pasukan tank Rusia, sehingga menarik diri dari wilayah bandara kota Luhansk. Kemudian adalah pengakuan Presiden Poroshenko di Akedmi Militer Kiev, tentang keterlibatan militer Rusia yang telah mengubah keseimbangan di medan perang.
Dan puncaknya adalah ancaman Vladimir Putin untuk menduduki Kiev dalam waktu 2 minggu.
Rusia selalu menolak tuduhan keterlibatan langsung pasukannya di medan perang Ukraina. Namun dalam diplomasipun, kekuatan militer tetap menjadi andalan terbaik, dan Rusia tidak membutuhkan pengakuan kehadiran pasukannya di Ukraina. Sama seperti Cina yang tidak mengakui keterlibatannya dalam Perang Korea atau Vietnam, meski ratusan ribu pasukan reguler mereka berhadapan muka dengan pasukan AS dan sekutu-sekutunya.
Mungkin akhirnya Putin menyadari bahwa AS dan NATO tidak pernah benar-benar ingin berdamai dan hanya memiliki satu agenda, yaitu menghancurkan Rusia yang masih menjadi sedikit kekuatan di dunia yang menjadi pengganjal dominasi AS dan NATO di dunia.
Sebagaimana saran yang berulangkali disampaikan Paul Craig Roberts, seorang pengamat internasional berpengaruh, satu-satunya pilihan terbaik Rusia adalah melakukan respon keras terhadap AS dan NATO, bila perlu dengan melakukan ekspansi ke Ukraina. Karena dengan keberadaan pasukan Rusia di Ukraina, AS dan NATO hanya memiliki “daya tawar” yang sedikit.
Cara ini sebenarnya telah dilakukan dengan sukses oleh Rusia ketika menginvasi Ossetia dan Georgia dalam Perang Ossetia Selatan tahun 2008, atau ketika menginvasi Chechnya tahun 1999. Kedua langkah tegas Rusia itu menghentikan secara efektif dan permanen provokasi AS dan NATO serta sekutu proksinya terhadap kedaulatan Rusia.
Dan tanda-tanda bahwa perubahan strategi Rusia memberikan hasil positif bagi Rusia telah tampak. Pemerintah Ukraina, hari Rabu (3/9), mengumumkan telah menerima saran Rusia untuk menggelar gencatan senjata permanen dengan pemberontak. Sementara sebelumnya mereka bersumpah untuk tidak berunding dengan pemberontak, bahkan menyebut mereka sebagai teroris
Namun faktanya telah terjadi perubahan keseimbangan yang sangat signifikan di medan perang Ukraina timur. Dari kondisi terdesak dan terkepung di 2 kota utama di Ukraina timur, Donetsk dan Luhansk, para pemberontak kini justru menjadi pengendali jalannya pertempuran.
Selain mengusir pasukan Ukraina dari sekitar kota Luhansk dan Donetsk, pemberontak kini justru mengepung ribuan pasukan Ukraina di tiga lokasi di Provinsi Donetsk. Dan setelah merebut 2 kota di pinggir Laut Azov, kini para pemberontak berusaha merebut kota pelabuhan Mariupol yang strategis.
Semua itu tidak mungkin terjadi tanpa adanya campur tangan langsung Rusia yang juga dibenarkan oleh media massa Rusia sendiri.
“Apakah Kita Sedang Berperang (di Ukraina)?” Tulis editorial koran Vedomosti, merujuk pada beberapa upacara pemakaman secara militer yang dilakukan diam-diam dan tertangkapnya 10 prajurit Rusia di Ukraina.
“Agresi langsung dan terbuka telah dilancarkan terhadap Ukraina dari negara tetangga. Ini telah mengubah situasi di zona konflik secara radikal,” kata Presiden Ukraina Petro Poroshenko di Akademi Militer Kiev.
Mikhail Popov, penasihat militer pemerintah Rusia di Dewan Keamanan Nasional, kepada media massa Rusia RIA Novosti, mengatakan bahwa Rusia telah mengubah strateginya melawan NATO sebagai dampak dari krisis di Ukraina.
“Tindakan-tindakan NATO yang terencana merupakan bukti dari keinginan pare pemimpin AS dan NATO untuk melanjutkan kebijakan agresif kepada Rusia,” kata Popov, merujuk pada pengerahan kekuatan NATO di negera-negara yang berbatasan dengan Rusia terkait dengan krisis Ukraina.
Atas kesadaran itu maka dipercaya, Rusia telah mengubah strateginya menghadapi NATO, dan hal itu terlihat di Ukraina.
Menjelang pertemuan tingkat tinggi NATO di Wales, Inggris bulan ini, Rusia telah memberi sinyal untuk melakukan respon atas rencana NATO yang akan menggelar pasukan gerak cepat di negara-negara yang berdekatan dengan Rusia.
Menurut Popov, langkah NATO itu, bersama dengan rencana penggelaran sistem pertahanan rudal serta konflik Ukraina yang dianggap sebagai bentuk prokokasi NATO, telah mengubah strategi Rusia.
NATO mengumumkan rencana penggelaran pasukan gerak cepat berkekuatan beberapa ribu personil untuk melindungi negara-negara anggota NATO, terutama di Eropa timur, dari kemungkinan serangan Rusia. Pasukan yang personilnya disediakan oleh anggota NATO secara bergilir itu direncanakan untuk siap digelar dalam waktu kurang dari 48 jam.
Sekjen NATO Rasmussen, dalam pengumuman pembentukan pasukan itu menyebutkan alasannya: “Kita harus menghadapi kenyataan bahwa Rusia tidak menganggap NATO sebagai mitra.”
Rasmussen membantah tuduhan pasukan itu melanggar perjanjian Nato-Russia Founding Act tahun 1997, yang melarang adanya pangkalan permanen NATO di Eropa Tengah dan Timur.
Laporan pertama intervensi langsung Rusia di Ukraina muncul bersamaan dengan misi bantuan kemanusiaan Rusia ke Ukraina bulan lalu. Bersamaan dengan truk-truk bantuan Rusia yang menerobos perbatasan Ukraina, konvoi kendaraan militer Rusia juga dikabarkan ikut menerobos sebelum dihentikan oleh pasukan Ukraina setelah sempat terjadi tembak-menembak.
Sejak itu laporan demi laporan keberadaan pasukan Rusia dengan peralatan beratnya semakin terjadi, seiring dengan meningkatnya offensif pemberontak.Minggu lalu NATO merilis gambar satelit yang menunjukkan konvoi militer Rusia yang berada di wilayah Ukraina, hal mana dibantah pejabat Rusia yang menuduh gambar tersebut adalah rekayasa yang dilakukan perusahaan operator satelit Eropa.
Pada hari Senin (1/9) Jubir Militer Ukraina Andriy Lysenko mengklaim pasukan Ukraina mendapat serangan oleh pasukan tank Rusia, sehingga menarik diri dari wilayah bandara kota Luhansk. Kemudian adalah pengakuan Presiden Poroshenko di Akedmi Militer Kiev, tentang keterlibatan militer Rusia yang telah mengubah keseimbangan di medan perang.
Dan puncaknya adalah ancaman Vladimir Putin untuk menduduki Kiev dalam waktu 2 minggu.
Rusia selalu menolak tuduhan keterlibatan langsung pasukannya di medan perang Ukraina. Namun dalam diplomasipun, kekuatan militer tetap menjadi andalan terbaik, dan Rusia tidak membutuhkan pengakuan kehadiran pasukannya di Ukraina. Sama seperti Cina yang tidak mengakui keterlibatannya dalam Perang Korea atau Vietnam, meski ratusan ribu pasukan reguler mereka berhadapan muka dengan pasukan AS dan sekutu-sekutunya.
Mungkin akhirnya Putin menyadari bahwa AS dan NATO tidak pernah benar-benar ingin berdamai dan hanya memiliki satu agenda, yaitu menghancurkan Rusia yang masih menjadi sedikit kekuatan di dunia yang menjadi pengganjal dominasi AS dan NATO di dunia.
Sebagaimana saran yang berulangkali disampaikan Paul Craig Roberts, seorang pengamat internasional berpengaruh, satu-satunya pilihan terbaik Rusia adalah melakukan respon keras terhadap AS dan NATO, bila perlu dengan melakukan ekspansi ke Ukraina. Karena dengan keberadaan pasukan Rusia di Ukraina, AS dan NATO hanya memiliki “daya tawar” yang sedikit.
Cara ini sebenarnya telah dilakukan dengan sukses oleh Rusia ketika menginvasi Ossetia dan Georgia dalam Perang Ossetia Selatan tahun 2008, atau ketika menginvasi Chechnya tahun 1999. Kedua langkah tegas Rusia itu menghentikan secara efektif dan permanen provokasi AS dan NATO serta sekutu proksinya terhadap kedaulatan Rusia.
Dan tanda-tanda bahwa perubahan strategi Rusia memberikan hasil positif bagi Rusia telah tampak. Pemerintah Ukraina, hari Rabu (3/9), mengumumkan telah menerima saran Rusia untuk menggelar gencatan senjata permanen dengan pemberontak. Sementara sebelumnya mereka bersumpah untuk tidak berunding dengan pemberontak, bahkan menyebut mereka sebagai teroris
No comments:
Post a Comment