Setelah berlalu sembilan dasawarsa, luka lama itu kembali menyeruak.
Sebagaimana yang diberitakan secara massal oleh berbagai media nasional
dan internasional, terungkap adanya rencana untuk merelokasi makam
Rasulullah SAW, dari Masjid Nabawi ke Areal Pemakaman Baqi. Ketika sudah
terelokasi, maka makam beliau akan diperlakukan sebagaimana makam-makam
lainnya di Baqi: tanpa ada bangunan khusus, tanpa tembok, dan tanpa
nisan. Hanya tanah biasa dengan tanda batu. Adapun ruangan bekas makam
beliau (kalau rencana ini terlaksana), akan diratakan dan menjadi salah
satu ruangan di Masjid Nabawi.
Isu ini kontan memantik reaksi dari berbagai kalangan dunia dan juga Indonesia. Mantan Ketua Umum PP Muhamadiyyah Buya Syafii Ma’arif menyerukan ummat Islam di seluruh dunia agar menentang rencana sepihak pemerintah Arab Saudi tersebut. Sementara itu mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi bersuara sangat keras. Ia mengingatkan bahwa Arab Saudi atau siapapun yang ingin memindahkan makam Nabi Muhammad SAW dari Masjid Nabawi ke tempat lain, harus bersiap-siap menghadapi kehancuran.
Isu bahkan makin berkembang ke segala arah. Penguasaan pemerintah Arab Saudi atas situs-situs penting umat Islam, seperti makam Nabi dan bahkan Masjidul Haram, mulai dipersoalkan. Dikatakan bahwa pemerintah Arab Saudi sejatinya tak lebih dari sekadar pelayan (khadim), bukan pemilik atas berbagai tempat suci ummat Islam yang secara kebetulan berada di wilayah administratif Kerajaan.
Ini sebenarnya luka lama. Sejak kawasan Jazirah Arab yang meliputi Hujaz dan Nejd dikuasai oleh Dinasti Saudi yang bercorak Wahabi, Dunia Islam harus menyaksikan berbagai macam aksi sepihak mereka dalam memperlakukan berbagai situs suci ummat Islam.
Tengoklah apa yang terjadi pada tahun 1925. Saat itu, Raja Ibnu Saud berniat untuk menerapkan asas tunggal, yaitu mazhab Wahabi di Mekkah. Konsekwensi dari keputusan ini adalah terjadinya penyeragaman mazhab bagi para hujjaj serta penghancuran warisan budaya, karena salah satu prinsip dasar Wahabisme adalah penghancuran segala hal yang secara sepihak dipandang sebagai kesyirikan, termasuk warisan budaya. Dan salah satu isu paling panas adalah rencana pembongkaran/perataan makam Baginda Nabi SAW, menyusul keberhasilan mereka dalam meratakan 10.000 makam para sahabat Nabi di Areal Pemakaman Baqi.
Pada saat itu, kalangan pesantren di Indonesia sangat dikenal sebagai kelompok yang berdiri di depan dalam membela keberagaman dan menolak pembatasan bermazhab. Apalagi ketika salah satu konsekwensi dari implementasi mazhab tersebut adalah pembongkaran makam Nabi. Karena itu, kalangan pesantren menyampaikan penolakan atas rencana tersebut. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925, dan dengan sendirinya, mereka juga tidak diikutkan dalam delegasi yang hadir pada Kongres Islam Internasional di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Tapi, kalangan pesantren tidak kehabisan akal. Demi untuk sesuatu yang diyakini sangat krusial, mereka tetap berupaya keras agar bisa hadir dalam Kongres. Lalu dibentuklah sebuah delegasi independen yang diberi nama Komite Hejaz, dengan ketuanya KH Wahab Hasbullah. Dengan bendera baru itu, kalangan pesantren pun bisa hadir dalam Kongres.
Saat Kongres digelar, ternyata Komite Hejaz tidak sendirian. Penolakan atas rencana Kerajaan Saudi itu juga datang dari mayoritas delegasi lainnya. Akhirnya, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya, dan hingga saat ini, Mekkah tetap menjadi kawasan suci tempat kaum Muslimin bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Makam Nabi pun urung dibongkar.
Di Indonesia, keberhasilan Komite Hejaz itu menginspirasi kalangan pesantren untuk membentuk organisasi yang lebih komprehensif dan sistematis. Maka, pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) lahirlah Nahdlatul Ulama. Organisasi ini dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Kini, sejarah sepertinya akan berulang. Setelah berhasil membongkar dan menghapus sejumlah jejak sejarah penting (seperti rumah tempat kelahiran Rasulullah, rumah Siti Khadijah, dll), muncul laporan adanya rencana untuk membongkar makam Nabi.
Tapi, percayalah, niat itu tak akan kesampaian. Seperti yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi, Arab Saudi harus siap hancur jika memaksakan pendapat mereka. Ummat Islam berserta para ulamanya di seluruh dunia tidak akan mungkin tinggal diam menyaksikan kesewenang-wenangan Arab Saudi dalam mempraktekkan keyakinan mazhab mereka. Dulu, rencana pembongkaran makam Nabi berujung kepada lahirnya organisasi kebangkitan ulama. Kini, rencana yang sama bisa saja berujung kepada gerakan kebangkitan ulama babak kedua yang lebih asasi dan substantif.
Isu ini kontan memantik reaksi dari berbagai kalangan dunia dan juga Indonesia. Mantan Ketua Umum PP Muhamadiyyah Buya Syafii Ma’arif menyerukan ummat Islam di seluruh dunia agar menentang rencana sepihak pemerintah Arab Saudi tersebut. Sementara itu mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi bersuara sangat keras. Ia mengingatkan bahwa Arab Saudi atau siapapun yang ingin memindahkan makam Nabi Muhammad SAW dari Masjid Nabawi ke tempat lain, harus bersiap-siap menghadapi kehancuran.
Isu bahkan makin berkembang ke segala arah. Penguasaan pemerintah Arab Saudi atas situs-situs penting umat Islam, seperti makam Nabi dan bahkan Masjidul Haram, mulai dipersoalkan. Dikatakan bahwa pemerintah Arab Saudi sejatinya tak lebih dari sekadar pelayan (khadim), bukan pemilik atas berbagai tempat suci ummat Islam yang secara kebetulan berada di wilayah administratif Kerajaan.
Ini sebenarnya luka lama. Sejak kawasan Jazirah Arab yang meliputi Hujaz dan Nejd dikuasai oleh Dinasti Saudi yang bercorak Wahabi, Dunia Islam harus menyaksikan berbagai macam aksi sepihak mereka dalam memperlakukan berbagai situs suci ummat Islam.
Tengoklah apa yang terjadi pada tahun 1925. Saat itu, Raja Ibnu Saud berniat untuk menerapkan asas tunggal, yaitu mazhab Wahabi di Mekkah. Konsekwensi dari keputusan ini adalah terjadinya penyeragaman mazhab bagi para hujjaj serta penghancuran warisan budaya, karena salah satu prinsip dasar Wahabisme adalah penghancuran segala hal yang secara sepihak dipandang sebagai kesyirikan, termasuk warisan budaya. Dan salah satu isu paling panas adalah rencana pembongkaran/perataan makam Baginda Nabi SAW, menyusul keberhasilan mereka dalam meratakan 10.000 makam para sahabat Nabi di Areal Pemakaman Baqi.
Pada saat itu, kalangan pesantren di Indonesia sangat dikenal sebagai kelompok yang berdiri di depan dalam membela keberagaman dan menolak pembatasan bermazhab. Apalagi ketika salah satu konsekwensi dari implementasi mazhab tersebut adalah pembongkaran makam Nabi. Karena itu, kalangan pesantren menyampaikan penolakan atas rencana tersebut. Akibatnya, mereka dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925, dan dengan sendirinya, mereka juga tidak diikutkan dalam delegasi yang hadir pada Kongres Islam Internasional di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Tapi, kalangan pesantren tidak kehabisan akal. Demi untuk sesuatu yang diyakini sangat krusial, mereka tetap berupaya keras agar bisa hadir dalam Kongres. Lalu dibentuklah sebuah delegasi independen yang diberi nama Komite Hejaz, dengan ketuanya KH Wahab Hasbullah. Dengan bendera baru itu, kalangan pesantren pun bisa hadir dalam Kongres.
Saat Kongres digelar, ternyata Komite Hejaz tidak sendirian. Penolakan atas rencana Kerajaan Saudi itu juga datang dari mayoritas delegasi lainnya. Akhirnya, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya, dan hingga saat ini, Mekkah tetap menjadi kawasan suci tempat kaum Muslimin bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Makam Nabi pun urung dibongkar.
Di Indonesia, keberhasilan Komite Hejaz itu menginspirasi kalangan pesantren untuk membentuk organisasi yang lebih komprehensif dan sistematis. Maka, pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) lahirlah Nahdlatul Ulama. Organisasi ini dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Kini, sejarah sepertinya akan berulang. Setelah berhasil membongkar dan menghapus sejumlah jejak sejarah penting (seperti rumah tempat kelahiran Rasulullah, rumah Siti Khadijah, dll), muncul laporan adanya rencana untuk membongkar makam Nabi.
Tapi, percayalah, niat itu tak akan kesampaian. Seperti yang disampaikan oleh KH Hasyim Muzadi, Arab Saudi harus siap hancur jika memaksakan pendapat mereka. Ummat Islam berserta para ulamanya di seluruh dunia tidak akan mungkin tinggal diam menyaksikan kesewenang-wenangan Arab Saudi dalam mempraktekkan keyakinan mazhab mereka. Dulu, rencana pembongkaran makam Nabi berujung kepada lahirnya organisasi kebangkitan ulama. Kini, rencana yang sama bisa saja berujung kepada gerakan kebangkitan ulama babak kedua yang lebih asasi dan substantif.
No comments:
Post a Comment