“Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan
18.000 jiwa meninggal akibat narkoba”. Pernyataan di atas merupakan
penegasan sikap terbaru dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo atas
penolakan terhadap grasi terpidana mati. Pernyataan tersebut disampaikan
seusai menghadiri acara silaturahmi dengan insan pers nasional.
Pernyataan-pernyataan serupa juga sudah
seringkali disampaikan. Akan tetapi ternyata keseriusan Pemerintah yang
ingin melindungi generasi dan anak bangsa dari kehancuran akibat narkoba
tidak mendapat respon yang baik dari seluruh komponen anak negeri.
Masih ada saja dari kelompok bagsa ini, baik secara perorangan maupun
institusional mengecam sikap tegas Pemerintah. Bagi mereka, eksekusi
mati terhadap para pelaku (baik bandar maupun pengedar narkoba)
merupakan pengambilan paksa hak hidup dan sebagai sebuah tindakan yang
mengabaikan nilai-nilai kemanusian.
Kontroversi Hukuman Mati
Kemarin malam (Senin, 27/04/2015) dalam
program Debat di TV One, terjadi “perdebatan” antara pendukung dan
penentang (anti) eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba.
Kelompok pendukung diwakili oleh Ketua Gerakaan Anti Narkotika (Granat),
Henry Yosodiningrat, yang juga merupakan anggota DPR RI Fraksi Partai
PDIP dan Dikrektur BNN, Beny Mamoto. Sedangkan kelompok penolak hukuman
mati diwakili oleh Ketua LBH Jakarta, Alvon, dan seorang dari Komisi
Nasional (Komnas) Perempuan. Dalam perdebatan itu terlihat jelas,
bagaimana kelompok anti eksekusi mati ini mati-matian membela seorang
Mary Jane Velloso (dan mungkin pula yang lain) - lepas dari ia sebagai
pengedar atau hanya sebagai kurir - agar tidak dieksekusi mati. Bahkan
secara lugas, Henry Yosodiningrat, mengingatkan bahwa janganlah karena
nyawa seseorang yang telah melalui proses peradilan sampai pada level
tertinggi dan dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah dalam
tindakan kejahatan narkotika, mereka tega “mempermalukan” negeri yang
telah memberi hidup dan membesarkan mereka, di mata Internasional. Dan
kelihatannya kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini, terutama
LSM-LSM yang hidup dan matinya mengharapkan dana donasi negara donor
(dari luar negeri). Mereka seakan takut menyuarakan sikap untuk pula
mendukung kebijakan Pemerintah, karena khawatir “dapur” mereka tidak
lagi mengepul asap. Mereka berusaha berlindung di balik isu HAM bagi
terpidana, sehingga lupa bahwa korban narkoba juga mempunyai hak yang
sama untuk dilindungi dengan alasan HAM pula. Celakanya para korban itu
adalah anak negeri sendiri, sementara para terpidana mati yang dibela
mati-matian adalah warga negara asing, yang entah di negara asalnya
cukup terkenal dan punya pengaruh dan kontribusi besar terhadap
negaranya atau tidak. Kalau pun ada kontribusi dan pengaruh mereka
terhadap negara asalnya, peduli apa kita?
Tadi malam, pada acara Indonesia Lawyer Club
(ILC) di TV One, menjelang pelaksanaan eksekusi, pro kontra terhadap
hukuman mati dan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus
narkoba masih saja riuh rendah. Seperti biasa, kelompok-kelompok
penentang hukuman mati ini kembali mengulangi argumen yang sama untuk
membela para terpidana mati agar tidak dieksekusi. Kelompok-kelompok ini
dengan begitu gigih dan tanpa “malu-malu” menggunakan isu HAM dan
otoritas pengambilan nyawa (hak hidup) oleh Sang Pencipta, mencoba
mempengaruhi dan mempermainkan perasaan dan opini publik.
Penulis tidak ingin mengulas pendapat semua
“pakar” yang hadir pada acara ILC TV One tadi malam, tapi hanya
mengambil satu pendapat sebagai sampel. Atas argumen hanya Tuhan yang
berhak mengambil nyawa seseorang, Mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman
Shaleh, secara berseloroh menyindir, bahwa meski para terpidana dihukum
dengan cara dieksekusi oleh regu tembak, toh, tetap saja nyawa seseorang
hanya Tuhan yang bisa mengambilnya (mematikan).
Di negara-negara asal terpidana yang akan
dieksekusi mati, seperti Australia, Philipina, dan Perancis, muncul
gerakan dan demonstrasi yang berpusat di kantor-kantor kedutaan besar
Republik Indonesia (KBRI) untuk menyampaikan protes dan menentang
hukuman mati. Begitu pula di Perancis. Turut pula bergabung dalam
demonstrasi menentang Pemerintah Indonesia itu adalah seorang warga
Perancis keturunan Indonesia, yang karena menikah dengan warga negara
Perancis, maka “terpaksa” harus pindah dan bertukar status
kewarganegaraannya.
Kegundahan Seorang Musisi yang Mantan WNI
Di tengah tekanan dari Pemerintah dan warga
negara lain akibat warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dan pula
tekanan kelompok-kelompok kepentingan di dalam negeri, seorang warga
negara Perancis kelahiran Indonesia, yang lahir dan besar melalui bumi
dan air tanah pertiwi, dengan pongah mengirim surat terbuka kepada
Presiden Jokowi. Ia dengan percaya diri, berdiri bagai seorang yang
sangat tahu dan paham tentang HAM, “menceramahi” Presiden Jokowi. Ya, ia
adalah Anggun Cipta Sasmi. Seorang musisi dan penyanyi rocker wanita,
yang karena alasan ingin “mendunia” maka berpindah menjadi warga negara
asing, itupun seelah “dinikahi” warga Perancis.
Mungkin karena Anggun C. Sasmi merasa bahwa dalam
darahnya telah pula “teraliri” darah Perancis melalui suaminya, sehingga
ia dengan enteng membela seorang terpidana mati, seorang bandar
narkoba, Serge Atlaoui, dan lupa bahwa di negeri asal kedua orangtuanya,
dalam sehari harus mengikhlaskan 50 jiwa meregang nyawa sia-sia karena
narkoba. Menurutnya, menghukum seorang Serge Atlaoui, itu sama saja
dengan membangunkan emosi yang sangat dalam di Eropa. Entah atas alasan
dan logika mana, ia, Anggun C. Sasmi, mengklaim bahwa
sentimen etnis Eropa akan tersulut bila Pemerintah Indonesia melanjutkan
keputusan men-dor seorang Serge Atlaoui, yang bukan siapa-siapa di
Eropa, tapi hanya seorang bandar narkoba, perusak masa depan generasi
anak negeri.
Padahal seperti ia sendiri tegaskan dalam suratnya,
bahwa ia sangat mengerti dengan dampak negatif narkoba, terutama -
terhadap generasi anak negeri, yang sedang tumbuh menatap masa depan -
di Indonesia. Tapi mengapa, ia, Anggun C. Sasmi hanya memilih seorang
Serge Atlaoui, yang kebetulan pula seorang warga Pernacis yang ia bela?
Sementara dalam gerbong terpidana yang akan dihukum mati masih ada warga
dari negara lainnya
Jika demikian, ini adalah kerancuan dan sesat
pikir yang coba dibangun dan ditularkan kepada orang lain. Celakanya,
kerancuan dan sesat pikir itu, juga digunakan untuk mempengaruhi
Presiden Jokowi, agar mau menganulir keputusannya mengeksekusi mati
Serge Atlaoui. Ternyata, demi untuk menyenangkan sentimen “keeropaan”
yang terpaksa melekat pada dirinya melalui suaminya, ia seakan menutup
naluri dasarnya untuk sekedar merasa empati terhadap penderitaan
generasi anak negeri. Alih-alih ingin menunjukkan kegalauan hatinya,
karena seorang warga Perancis, Serge Atlaoui, yang turut pula akan
dihukum mati, malah hanya menunjukkan “kelatahan” bodoh membela
seseorang yang tidak pantas untuk dibela.
Jokowi Menyindir Balik dan Menjawab Keraguan
Seakan ingin membalas surat terbuka yang
dikirimkan kepadanya, Presiden Jokowi, seusai menghadiri acara
silaturahmi Dewan Pers Nasional, tadi malam (27/94/2015), menegaskan
bahwa ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah
Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa narkoba. Dalam pandangan
Presiden, narkoba telah merusak generasi bangsa, di mana dalam sehari
merenggut nyawa anak negeri 50 jiwa, sehingga bagi Presiden, hukuman
mati merupakan hal yang pantas dan sepadan atas akibat yang ditimbulkan
oleh narkoba.
Bahkan secara tegas Presiden menantang semua
kelompok yang menentang hukuman mati untuk pula berjalan-jalan ke
tempat-tempat rehabilitasi kasus narkoba. Dengan datang dan menyaksikan
langsung akibat narkoba bagi para pecandu dan penggunanya, mungkin akan
terbuka mata hati dan juga bathinnya, bahkan sambil terbelalak, tanpa
menyadari, kemudian, menyeletuk keluar kalimat dari mulutnya yang sedang
menganga, kalaimat, “ooo begitu ya akibat narkoba!” Presiden berujar,
“pergi ke tempat rehabilitasi, yang berguling, meregang, teriak,
cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu (terpidana mati)
dengan 18.000 (jiwa)”.
Dini hari tadi, (Rabu, 29/04/2015) sekitar
pukul 00. 30 waktu setempat, di Nusakambangan, Jokowi membuktikan
komitmennya, lebih memilih membela dan menyelamat anak negeri, generasi
pelanjut, daripada mengikuti “ego” sekelompok orang atau
kelompok-kelompok kepentingan, yang merasa “terancam” sumber
pendanaannya, bila para terpidana mati benar-benar dieksekusi oleh para
regu tembak. Meski masih ada pertanyaan yang tertinggal dari pelaksanaan
eksekusi mati tahap kedua ini. Sedianya, yang akan menjalani prosesi
eksekusi mati melalui regu tembak sebanyak 10 orang terpidana mati. Akan
tetapi karena alasan salah seorang terpidana mati warga Perancis yang
masih melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
menggugat pertimbangan penolakan grasi, dan juga seorang terpidana mati
warga Philipina, atas permintaan Presidennya, karena ada “novum” baru,
sehingga terpaksa ditunda pelaksanaan eksekusinya. Jadi yang “terlibat”
dalam eksekusi mati dini hari tadi (Rabu, 29/04/2014) hanya delapan
orang terpidana mati, termasuk dua “Bali Nine”.
Jangan juga ada pihak yang merasa ge’er atas
penundaan ekseksui mati atas dua terpidana mati ini, khususnya warga
Perancis. Penundaan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan yang
disampaikan melalui surat terbuka oleh seorang rocker itu maupun ancaman
dari Presidennya. Melainkan hal itu dilakukan karena pertimbangan
menghormati upaya hukum yang sedang dilakukan oleh para terpidana (Serge
Atlaoui dan Mary Jane Velloso).
Kita berharap penunadaan itu tidak
berlangsung lama. Jika tidak, dunia Internasional akan menilai bahwa
Indonesia sedang menerapkan standar ganda (double standart).
Indonesia sedang menjalankan politik diskriminatif dalam penegakkan
hukum. Di satu sisi mengeksekusi delapan terpidana mati, sementara di
pihak lain berusaha “menyelematkan” dua terpidana mati yang lain. Jangan
sampai Pemerintah negara-negara yang warga negaranya telah dieksekusi
mati, mempunyai stigma bahwa Pemerintah Indonesia tidak cukup “kredibel”
dalam hal penegakkan hukum karena masih mengakomodir upaya-upaya
mengulur-ulur waktu (buying time). Lebih jauh malah akan
membuat Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi merasa
“dikhianati” sehingga memberikan reaksi balik yang tidak proporsional.
Menyikapi Reaksi Balik
Tentang reaksi itu, sepertinya sudah mulai
nampak di depan mata. Pemerintah Australia, langsung memberikan reaksi
mengecam pelaksanaan eksekusi mati terhadap dua warganya. Bahkan akan
segera diikuti dengan menarik duta besarnya kembali ke Australia.
Padahal sudah jauh-jauh hari mereka melakukan berbagai upaya, termasuk
diplomasi donasi tsunami Aceh, toh pada akhirnya kandas di tangan
Jokowi. Ini akan membuat perasaan PM Australia, seperti “tercampakkan”.
Hari-hari berikutnya kita pasti akan
menyaksikan parade reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya ikut pula
dieksekusi mati dini hari tadi. Reaksi itu, baik berupa pernyataan
sikap keberatan, mengecam, menarik duta besar mereka, (seperti akan
dilakukan Australia dan juga Pemerintah Brasil ketika eksekusi tahap
pertama berlangsung), maupun pada tahap yang lebih jauh memutuskan
hubungan diplomatik. Semua dampak itu, hendaknya sudah diperhitungkan
secara matang sehingga Pemerintah dapat mempersiapkan langkah-langkah
preventif dan antisipatif lebih awal. Kita juga percaya bahwa semua
resiko dan dampak dari keputusan untuk tetap melaksanakan eksekusi mati
sudah dipersiapkan sejak awal. Pemerintah juga pasti telah membuat
simulasi dari skenario yang akan dijalankan setelah pelaksanaan eksekusi
mati. Dan semua itu, muaranya hanya satu semata-mata menyelamatkan
generasi anak negeri, dan lebih jauh mempertahankan wibawa dan martabat
Indonesia di mata dunia Internasional bahwa kita memiliki kedaulatan
hukum yang harus pula dihormati.
Pemerintah juga tidak perlu memberikan reaksi
yang berlebihan atas kemungkinan reaksi dari Pemerintah yang warga
negaranya telah dieksekusi mati, apalagi harus mengambil sikap ofensif.
Begitu pula tidak perlu juga memperlihatkan sikap defensif. Semuanya
harus diletakkan pada konteks yang proporsional dan wajar.