A. Terapi
Feminis
Terapi Feminis
adalah proses terapi
yang menempatkan gender dan kekuatannya sebagai inti terapi. Dibangun berdasarkan asumsi bahwa
permasalahan
seseorang sangat terkait dengan konteks sosial dan budaya di mana ia tinggal. Pada kenyataannya, kebanyakan klien adalah seorang
wanita.Begitu pula para terapis kebanyakan juga wanita. Sehingga perlu ada
sebuah terapi yang disusun berdasar proses berfikir dan pengalaman
wanita.Konsep sentral dalam terapi feminis adalah pentingnya memahami tekanan
psikologis para wanita dan pembatasan-pembatasan yang timbul dari status
sosiopolitik yang memojokkan wanita. Perspektif feminis menawarkan pendekatan
yang unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman
tersebut ke dalam proses terapi. Proses sosialisasi perempuan tak pelak akan
berpengaruh pada perkembangan identitas, konsep diri, tujuan dan aspirasi, dan
kesejahteraan emosionalnya. Terapi
feminis berbeda dari teori atau pendekatan terapi
lainnya. Terapi ini didirikan atas usaha bersama oleh banyak orang sehingga tidak
ada pendiri tunggal. terdapat beberapa pribadi yang telah memberikan kontribusi penting
terhadap terapi feminis yaitu sebagai berikut:
·
Jean Baker Miller, M.D
Adalah professor disebuah
klinik psikiater di universitas Boston, Sekolah Pengobatan dan direktur dari
Jean Baker Miller Institute training di Stone Center, Wellesley college. Dia
adalah penulis buku tentang “psikologi seorang wanita” dan asisten pengarang
“penyembuhan hubungan”. Bagaimana bentuk terapi hubungan kewanitaan di
kehidupan dan perkembangan hubungan wanita”
dia adalah seorang psikiater dan psikoanalis. Miller adalah anggota dari
Asosiasi Psikiater Amerika, Akademi Psikoanalis Amerika, dan dia telah menjadi
anggota dewan yang terpercaya dari keduanya.Dan akhir decade ini dia telah
berhasil mengembangkan kerjasama antar sekolah dan lembaga untuk melanjutkan
perkembangan teori hubungan budaya.Dia juga telah mengembangkan teori ini dan
menjelajahi bentuk baru untuk melengkapi isu-isu di psikoterapi dan diluarnya,
isu-isu yang berhubungan dengan aksi social dan perubahan tempat kerja.
·
Corolyn Zerbe Enns, Ph.D
Seorang professor psikologi,
dia adalah seorang yang aktif berpartisipasi diprogram pembelajaran wanita di
Conell college di Mt. varnon, lowa.Enns menjadi tertarik pada terapi kewanitaan
sejak dia menyelesaikan gelar Ph.D nya, di Psikologi Konseling, universitas
Barbaro.Dia sangat menyukai pekerjaanya yang mempelajari perbedaan – perbedaan
teori yang ada pada teori kewanitaan. Enns yakin bahwa dalam terapi kewanitaan
memiliki ragam teori yang memiliki
dampak yang besar bagi nilai – nilai terhadap teori kewanitaan, dan hal itu
dibahasnya dalam buku nya : “terapi kewanitaan dan psikoterapi kewanitaan”.
Asal, latar belakang dan perbedaan sebagai perluasan komitmen untuk perubahan
social, Enns melayani dari tahun 1994 sampai 1998 sebagai ketua devisi 17
psikologi amerika. Dia juga sebagai wakil ketua di lembaga konseling, psikologi
bersama para perempuan.Dia memiliki peranan penting dan sangat berperan penting
pada terapi kewanitaan.Dia memperkenalkan terapi kewanitaan di dunia dan dia
menulis tentang macam – macam budaya terapi kewanitaan.
·
Olivia M.Espin, Ph.D
Seorang professor di lembaga
studi tentang wanita di Universitas San Diego, dan salah satu fakultas di
sekolah professional psikologi California, San Diego.Dia adalah pelopor teori
dan praktek dari terapi kewanitaan bersama para perempuan yang berbeda latar
belakang budaya dan telah mengajar, meyebarluaskan, dan mencoba beberapa isu –
isu ragam budaya di psikologi.Espin telah menerbitkan psikologi bersama
Latinas, wanita imigran.dia telah menulis derita Latina, kekuatan hidup dan
tradisinya. Realita Latina, menghadapi derita sexualitas dan migrasi.
Batas-batas penyimpangan terhadap wanita dan memilih mempelajari dasar wanita
imigran di seluruh dunia.
·
Laura S. Brown, Ph.D
Laura S. Brown adalah
anggota pendiri Institut Terapi feminis.Institut terapi feminis adalah suatu
organisasi yang didedikasikan untuk mendukung teori dan praktek terapi feminis.
Brown juga adalah anggota teori kelompok kerja pada National Conference on
Education and Training in Feminist Practice. Brown menulis beberapa buku dan
bukunya yang berjudul Theory in Feminist
Therapy (1994) diangap sebagai buku dasar teori terapi feminis. Brown
memberikan kontribusi tentang bagaimana berpikir tentang etika dan
pembatasan-pembatasan serta kompleksitas praktek etis dalam komunitas kecil.
Dan saat ini ia berminat terhadap praktek feminis untuk masalah-masalah
forensik dan penerapan prinsip-prinsip feminis untuk mengobati traumatik.
B. Sejarah dan
Perkembangan
Terapi feminis berawal dari
gerakan feminisme di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, yang didasari oleh
satu hal yang menyatukan mereka yaitu tentang kejenuhan mereka bahwa masyarakat
dan tatanan hukum yang bersifat patriaki. Gerakan feminisme yang mendapatkan
momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern
dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat
kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya
ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.Pada
tahun 1960an lah, di Amerika, para wanita membentuk sebuah forum untuk secara
aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang
memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.Feminisme, yang
merupakan dasar filosofis bagi terapi feminis, “bertujuan untuk menumbangkan
patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan
perubahan sosial radikal” (Brown, 1994). Betty Freidan, salah satu aktivis
feminis paling vokal menuliskan wajah feminisme ini dalam bukunya, The Feminine
Mystique (1963).Berkat Betty Freidan pula lah berdirinya organisasi wanita
bernama National Organization for Woman (NOW)
pada tahun 1966.
NOW, sebuah organisasi yang getol menyuarakan reformasi struktur
social dan peran tradisional wanita, dan feminism antara tahun 1960 sampai
1970-an. Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan
membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising) dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif
mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik
signifikan lainnya. Kelompok Consciousness
Raising (usaha penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok
para wanita yang bertemu secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas
tekanan dan ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian
berkembang menjadi kelompok self-help (tolong diri) yang tertata dalam
memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial yang ada saat itu.
Terapi feminis yang
berkembang dari kelompok Consciousness
Raising ini, yang kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan,
radikalisasi, dan mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Kelompok Consciousness Raising ini lebih banyak
mengambil peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi
para anggotanya. Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya terapi feminis sebagai
salah satu pendekatan dalam psikoterapi.Konseling dan psikoterapi feminis fase
awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki
pengalaman ditekan dan menjadi korban.Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah
yang secara efektif dapat membantu mereka.
Terapi Feminis juga tidak
selamanya mendapa pujian, akan tetapi kritik dan sikap kontra kerap kali
ditujukan kepada jenis terapi ini, Kritik seringkali datang dari mereka yang
tidak familiar dengan teori-teori feminisme dan mereka yang memiliki konsep
keliru bahwa terapi feminis adalah terapi yang anti laki-laki. Menurut Ballou
dan Gabalac (1984) dan Enns (1992), para konselor dan terapis feminis tidaklah
anti laki-laki; mereka hanya berusaha agar terjadi kesetaraan sosial bagi
wanita.
C. Prinsip-Prinsip
Terapi feminis
Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa
prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik Terapi feminis.
Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih satu samalain.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:
1)
Masalah individu
bersumber dari konteks politis
Prinsip ini
didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh klien ke dalam terapi bersumber
dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut
seringkali berasal dari konteks marginalisasi, opresi, subordinasi, dan
stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap
kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari terapi feminis.
2)
Komitmen pada perubahan sosial
Terapi feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan
secara individual, namun juga perubahan sosial. Para terapis feminis memandang praktik terapinya tidak hanya untuk membantu klien menyelesaikan masalahnya secara individual, namun
juga untuk mewujudkan transformasi sosial. Aksi nyata untuk melakukan perubahan
sosial merupakan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai terapis. Sangatlah penting bagi para wanita yang terlibat
dalam terapi(baik klien ataupun terapis) untuk menyadari bahwa masalah yang mereka alami
bersumber dari tekanan/opresi
sebagai anggota masyarakat kelas dua dan bahwa mereka dapat berjuang bersama
para wanita lainnya untuk mewujudkan perubahan. Tujuannya adalah untuk
mewujudkan kondisi sosial yang membebaskan para wanita dan laki-laki dari
kekangan-kekangan yang timbul akibat ekspektasi peran gender, yang hasil
akhirnya adalah perubahan individual.
3)
Suara, pemahaman, dan pengalaman
wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria
Perspektif
wanita merupakan hal yang sentral dalam memahami permasalahan yang dibawa oleh klien ke dalam terapi.
Konseling-konseling tradisional yang menggunakan norma-normaandrocentic,
menggunakan laki-laki sebagai ukuran, sehingga dengan begitu, wanita seringkali
ditemukan menyimpang dari norma tersebut. Banyak teori dan penelitian
psikologis yang cenderung mengkonseptualisasikan pria dan wanita dalam pola
yang sama. Tujuan terapi feminis adalah untuk mengganti “kebenaran obyektif
patriarkal” dengan kesadaran feminis, yang mengakui perbedaan cara dalam
memahami sesuatu. Para wanita didorong untuk menghargai emosi dan intuisinya,
serta menggunakan pengalaman pribadinya sebagai dasar untuk menentukan “realitas”.
Suara wanita diakui sebagai sumber pengetahuan yang otoritatif dan tidak
terhingga nilainya. Penghargaan dan fasilitasi suara wanita di dalam dan di
luar terapi ini akan menghilangkan kediaman wanita dan
berkontribusi pada perubahan pokok dalam kondisi politik di masyarakat.
4)
Hubungan terapi berlangsung secara egaliter
Salah satu
perhatian utama terapi feminis
adalah mengenai power dan hubungan terapi yang egaliter. Para terapis feminis
mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam
hubungan konseling/terapi, sehingga
mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan terapeutik serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa klien adalah ahli untuk dirinya sendiri. Sebuah diskusi yang
penuh keterbukaan mengenai powerdan perbedaan-perbedaan peran dalam
hubungannya akan membantu klien untuk
memahami bagaimana dinamika powerberpengaruh pada proses terapi dan hubungan lainnya. Penemuan cara untuk saling
menyeimbangkan powerdan men-demistifikasi terapi adalah merupakan hal yang esensial bagi terapis feminis. Hal ini karena mereka meyakini bahwa proses terapi seharusnya penuh dengan kesejajaran atau mutualitas.
5)
Fokus pada kekuatan dan reformulasi
definisi masalah psikologis
Beberapa terapis feminis menolak untuk memberikan label diagnostik
“penyakit mental” pada klien. Menurut
mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa
oleh klien ke dalam terapi. Konsep
masalah di-reframing, tidak sebagai penyakit namun sebagai komunikasi
mengenai ketidakadilan sistem. Jika yang dianggap sebagai penyebab masalah
adalah variabel-variabel kontekstual, maka secara otomatis simtom-simtom di-reframing sebagai
strategi untuk survival. terapis feminis
membicarakan masalah dalam konteks kehidupan dan strategi menyelesaikannya,
bukan dalam konteks patologi.
6)
Mengenali semua bentuk tekanan
Terapis feminis memahami bahwa ketimpangan sosial dan politik
berdampak negatif pada semua orang.Terapis feminis
berusaha untuk membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya serta
perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotyping,
marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya adalah untuk melakukan intervensi
dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam lingkungan sosiopolitik
yang disfungsional. Sumber-sumber opresi, tidak hanya gender, diidentifikasi
dan dieksplorasi secara interaktif sebagai basis untuk memahamiconcern klien. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan
membawa pada pemberdayaan klien, yang hanya
dapat dicapai melalui perubahan sosial.
D. Tujuan
Terapi Feminis
Tujuan utama terapi feminis
adalah sebuah perubahan, baik secara individu maupun masyarakat secara
menyeluruh.Dalam level individual, terapi bertujuan untuk membantu, baik pria
maupun wanita, mengenali dan menggunakan kekuatan personal mereka.Dengan
demikian, klien dapat membebaskan diri mereka dari tekanan sosial (gender) dan
mengembangkan alternatif dan pilihan hidup.Terapi feminis adalah sebuah
kesadaran politis.Bertujuan untuk merubah system patriarkal dalam masyarakat
dengan kesadaran feminist.Sehingga hubungan dalam masyarakat bersifat saling
tergantung, kooperatif dan saling menguntungkan.
Berikut tujuan dari terapi
feminis:
1.
Penghilangan
symptom (symptom removal).
Tujuan ini merupakan tujuan
terapi tradisional, di mana juga dapat digunakan dalam terapi feminis asalkan
tidak mengganggu tumbuh kembang wanita.
2.
Self-esteem
(harga diri).
Yang dimaksud dengan
self-esteem dalam terapi feminis adalah adalah tidak menggantungkan diri pada
sumber-sumber eksternal (apa yang dipikirkan oleh orang lain), namun berdasar
pada perasaan pribadi terhadap dirinya sendiri. Untuk wanita, ini artinya
melakukan sesuatu berdasarkan kriteria dirinya sendiri dan tidak terlalu
memikirkan apa yang orang lain (teman, keluarga, dan media) katakan tentang
bagaimana seharusnya ia berpenampilan, bertindak dan berpikir.
3.
Kualitas
hubungan interpersonal.
Kualitas hubungan
interpersonal ini harus meningkat setelah berlangsungnya terapi.Bagaimanapun,
menjadi lebih ekspresif, fasilitatif, dan peduli pada teman dan keluarga tidak
perlu sampai mengorbankan kebutuhan pribadi terapi. Daripada menjadi tergantung
pada orang lain, para wanita dapat meningkatkan hubungannya dengan cara
bersikap lebih asertif. Tujuan terapi feminis tidaklah hanya untuk meningkatkan
hubungan dengan teman dan keluarga, namun terapi ini juga memberikan perhatian
pada kualitas hubungan dengan para wanita.
4.
Body image dan
sensualitas
Body image dan sensualitas
seringkali dicirikan untuk wanita oleh media dan laki-laki, karena masyarakat
memang sangat mementingkan kemenarikan fisik bagi wanita. Tujuan terapi feminis
adalah untuk membantu individu-individu agar menerima kondisi fisik dan
seksualitasnya, serta tidak menggunakan standar orang lain dalam menilai
kondisi fisiknya sendiri. Keputusan orientasi seksual juga harus diputuskan
oleh individu tanpa adanya paksaan dari orang lain.
5.
Perhatian pada
perbedaan (attention to diversity).
Merujuk pada penghargaan
atas perbedaan budaya klien.Walaupun para klien perempuan memiliki beberapa
masalah dan tujuan yang nyaris seragam, kehidupan mereka dibentuk oleh
pengalaman yang beragam yang berasal dari latar belakang budaya, bahasa, agama,
ekonomi, dan orientasi seksual yang berbeda.
6.
Kesadaran politik
dan aksi sosial adalah tujuan pokok terapi feminis.
Dengan tujuan khusus tadi, proses terapi dilakukan
untuk:
1.
Membantu, baik
pria maupun wanita, untuk percaya pada pengalaman dan intuisi mereka.
2.
Mengajak klien
untuk mengapresiasi hubungan dengan wanita
3.
Membantu wanita
untuk memperhatikan diri mereka sendiri.
4.
Membantu wanita
untuk menerima dan menyukai tubuh mereka.
5.
Membantu wanita
untuk berbuat sesuai dengan kebutuhan seksual mereka sendiri bukan berdasar
kebutuhan seksual orang lain.
E. Fungsi dan
Peran Terapis
Terapi feminis bersifat keterbukaan diri “dengan
tujuan dan kebijaksanaan”.Sehingga terapis berperan sebagai individu yang
setara dengan klien alih-alih sebagai seseorang yang lebih ahli.Terapis dan
klien berperan aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan
terapi.Para terapis
feminis
telah mengintegrasikan feminisme ke dalam pendekatan konseling dan ke dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Tindakan, keyakinan, serta kehidupan personal dan
profesional mereka sejalan dengan feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk
selalu memonitor bias dan distorsi pribadi mereka, khususnya mengenai dimensi
sosial dan kultural pengalaman wanita. Terapis
feminis
juga berkomitmen untuk memahami penindasandalam segala bentuknya (seksisme, rasisme,
heteroseksisme)
dan mencoba menyadari dampak penindasan dan diskriminasi tersebut pada
kesejahteraan psikologis seseorang.Mereka bersedia hadir secara emosional untuk
kliennya, mau berbagi selama
sesi terapis, menjadi model
perilaku-perilaku proaktif, dan berkomitmen pada proses peningkatan kesadaran
(counsciousness-raising) pribadinya. Akhirnya, walaupun para terapis feminis mungkin
menggunakan teknik dan strategi dari teori lain, mereka sangat unik dengan
asumsi-asumsi feminis yang mereka pegang teguh.
F. Pengalaman
Klien dalam Proses Terapi
Dalam terapi feminis, klien
bertindak sebagai peserta yang aktif.Alih-alih diam dan menerima nasehat dari
terapis, klien aktif bercerita dan menyuarakan pikirannya.Klien boleh meminta
pendapat atau saran dari terapis. Terapis mengembalika tanggungjawab
penyelesaian masalah pada klien, sehingga klien yakin bahwa dirinya mampu
mengatasi masalah yang ia hadapi.
Self-disclosure yang
tepat dibenarkan dalam terapi feminis. Terapis perempuan dibenarkan berbagi pengalaman pribadinya,
termasuk mengenai opresi/penindasan peran gender. Kesadaran klien akan semakin meningkat begitu dilakukan analisis
stereotip peran gender.
Terapis feminis tidak hanya memberikan layanan pada klien perempuan saja,ia juga
melayani klien laki-laki, pasangan, keluarga, dan
anak-anak. Hubungan terapi selalu berbentuk
hubungan partnership. Bila kliennya pria, klien didaulat sebagai ahli untuk menentukan apa yang ia
butuhkan dan inginkan dari terapi. Ia akan
mengeksplorasi hal-hal di mana sosialisasi peran gender telah membatasinya. Ia
akan menjadi lebih menyadari bagaimana ia terbelenggu untuk mengekspresikan
emosi. Dalam sesi terapi yang aman
ini, ia dapat mengalami secara penuh perasaan-perasaan seperti kesedihan,
kelembutan, ketidakpastian, dan empati. Begitu ia mentransfer gagasan-gagasan
ini ke dalam kehidupan nyata, ia akan rasakan perubahan hubungan dalam keluarga
dan dunia sosial lainnya.
G. Hubungan
Antara Klien dan Terapis
Dalam terapi feminis,
hubungan antara klien dan konselor/terapis didasarkan pada prinsip pemberdayaan
dan kesetaraan. Terapis harus cermat dalam memposisikan diri jangan sampai
klien merasa terapis lebih berkuasa dalam proses terapi tersebut, misal dengan
memberi diagnosa yang tidak perlu/berlebihan, nasihat dan perilaku lain yang
menunjukkan terapis lebih ahli daripada klien.
Terapis fokus pada kekuatan
diri yang dimiliki oleh klien. Terapis memberi klien tanggung jawab dan
kebebasan untuk memilih apa yang dimaui oleh klien. Terapis harus mampu
mendemistifikasi proses terapi, dengan sharing mengenai bagaimana persepsi terapis
terhadap konteks hubungan yang dialami klien. Terapis menjadikan klien sebagai
partner yang aktif dalam menentukan diagnosa terhadap masalah mereka sendiri.
Ketika mengajukan suatu teknik tertentu ia menjelaskannya dengan gamblang, dan
menerima dengan sadar jika klien memakai atau menolak anjurannya. Dalam
beberapa kasus, terapis dapat membuat sebuah kontrak yang terbuka dan jelas
dengan klien mengenai tujuan terapis.
H. Teknik
dalam Terapi Feminis
Beberapa teknik dan strategi
konseling/terapi dikembangkan para terapis feminis.Sebagian mengakomodir teknik
tradisional dan diadaptasi sesuai teori feminis.Salah satu yang utama adalah
teknik meningkatkan kesadaran diri. Dengan teknik ini, klien diharapkan mempu
membedakan apa yang telah ia pelajari dari pandangan sosial terhadap gendernya
dan apa yang benar-benar baik menurut dirinya. teknik-teknik yang digunakan
antara lain:
a.
Pemberdayaan
(empowerment)
Tujuan utama
strategi-strategi terapi feminis adalah untuk memberdayakan klien, terapis akan
mengarahkan perhatian pada isu-isu informed
consent, mendiskusikan bagaimana supaya klien dapat memperoleh manfaat
secara optimal dari terapis, memperjelas harapan-harapan, mengidentifikasi
tujuan, serta menyusun kontrak yang akan memandu proses terapi. Dengan
memberikan penjelasan tentang proses terapi dan menjadikan klien sebagai mitra
aktif dalam proses terapeutik, proses terapi menjadi terdemistifikasi dan klien
akan menjadi partisipan yang kedudukan dan perannya sejajar dengan terapis.
klien akan menemukan bahwa ia dapat menentukan sendiri arah, durasi, dan
prosedur terapinya.
b.
Membuka diri
(self-disclosure)
Terapis feminis menggunakan
teknik self-disclosure untuk membuat hubungan terapis-klien menjadi sejajar,
menyediakan model, untuk menormalisasi pengalaman kolektif para wanita, untuk
memberdayakan klien, serta untuk memformulasikan informed consent.Terapis
menggunakan self-disclosure (membuka diri) dalam hal-hal yang disukai klien
dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan hakikat disclosure itu
sendiri.Self-disclosure yang tepat dapat membantu untuk mengurangi kesenjangan
power, berguna untuk memberikan support pada klien, sekaligus dapat membebaskan
dan memberdayakan klien.
Terapis juga perlu menyatakan
nilai dan keyakinan yang dianutnya tentang masyarakat agar klien dapat memilih
untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan terapi. Terapis juga menjelaskan
teknik-teknik intervensi yang mungkin akan digunakannya. Sebagai konsumen yang
telah memiliki informasi tentang proses terapi, klien dilibatkan untuk
mengevaluasi efektivitas strategi-strategi yang dijalankan dan sejauh mana ia
telah mencapai tujuannya melalui terapi.
c.
Analisis peran
gender (gender-role analysis)
Sebagai ciri khas terapi
feminis, analisis peran gender bertujuan untuk mengeksplorasi dampak ekspektasi
peran gender pada keadaan psikologis klien dan menjadikannya dasar untuk
membuat keputusan tentang perilaku-perilaku peran gender selanjutnya. Teknik
ini berfungsi sebagai asesmen sekaligus untuk mendorong perubahan klien.
Analisis peran gender dimulai dengan mengidentifikasi pesan-pesan dari
masyarakat yang diinternalisasi oleh klien mengenai bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan.
d.
Analisis power
(power analysis)
Power analysis mengacu pada
sejumlah metode yang bertujuan untuk membantu klien memahami mengenai bagaimana
ketimpangan akses power dan sumber daya dapat mempengaruhi realitas personal
individu.Secara bersama-sama, terapis dan klien mengeksplorasi bagaimana
ketimpangan atau penghalang-penghalang institusional seringkali membatasi
aktualisasi diri dan usaha menjadi pribadi yang baik.Dengan teknik power
analysis ini, terapis juga akan berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi
bentuk power alternatif yang akan dicobanya untuk menantang pesan-pesan peran
gender yang melarangnya untuk mencoba power tersebut. Intervensi ini bertujuan
untuk membantu klien belajar menghargai dirinya sendiri dengan apa adanya,
memperoleh kembali kepercayaan dirinya berdasarkan atribut kepribadian yang
dimilikinya, dan merancang tujuan yang dapat memuaskannya.
e.
Biblioterapi
Buku-buku nonfiksi,
buku-buku teks konseling dan psikologi, otobiografi, buku-buku self-help, video
edukasional, film-film, dan bahkan novel dapat digunakan sebagai sumber biblioterapi.
Membaca tentang perspektif feminis mengenai masalah-masalah umum dalam
kehidupan wanita (seperti incest, perkosaan, pemukulan, dan pelecehan seksual)
akan menyadarkan wanita dari kecenderungan menyalahkan dirinya sendiri dalam
masalah-masalah tersebut. Dalam praktiknya, teknik ini dilakukan dengan terapis
terlebih dulu menyebutkan beberapa buku yang membahas mengenai
ketimpangan-ketimpangan antara pria dan wanita, kemudian klien memilih salah
satunya untuk dibaca selama beberapa minggu/hari. Memberikan materi bacaan juga
akan meningkatkan pengetahuan dan mengurangi ketimpangan power antara klien dan
terapis. Bacaan dapat menjadi suplemen bagi hal-hal yang telah dipelajari klien
dalam sesi terapi.
f.
Assertive
training
Dengan
mengajarkan dan mendorong perilaku asertif/tegas, para wanita dapat menyadari
hak-hak interpersonalnya, tidak stereotip peran gender, dapat mengubah
keyakinan-keyakinan negatifnya, serta dapat melakukan perubahan-perubahan dalam
kehidupan sehari-hari. Terapis dan klien mencari perilaku apa yang tepat secara
budaya, dan klien membuat keputusan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan
keterampilan asertif tersebut.
Dengan mempelajari dan
mempraktikkan perilaku dan komunikasi yang asertif, klien akan mengalami
peningkatan power. Dengan teknik ini, klien akan belajar mengenai bahwa ia
berhak meminta apa yang ia inginkan dan butuhkan. Terapis juga perlu membantu
klien untuk mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi perilaku
asertifnya, yang mungkin berbentuk kritik atau ia mendapatkan apa yang
diinginkannya.
g.
Reframing dan
relabeling
Seperti juga biblioterapi,
self-disclosure, dan assertive training, reframing bukanlah teknik yang hanya
dilakukan oleh terapi feminis.Terdapat keunikan dalam reframing versi feminis
ini.Reframing bisa berbentuk pengalihan dari “menyalahkan korban” menjadi
menyadari faktor-faktor sosial dalam lingkungan yang berkontribusi pada masalah
klien.Dalam reframing, daripada bersusahpayah membahas faktor-faktor
intrapsikis, fokus lebih baik diarahkan untuk menguji dimensi-dimensi sosial
dan atau politik. Adapun Relabeling adalah intervensi yang dilakukan dengan
mengubah label atau cara mengevaluasi karakteristik perilaku tertentu.
h.
Aksi sosial
(social action)
Aksi sosial atau aktivisme
sosial merupakan hal yang esensial dalam terapi feminis (Enns, 2004).Ketika
klien sudah memiliki banyak pemahaman mengenai feminisme, terapis dapat
menyarankannya agar terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti menjadi relawan
lembaga pusat krisis korban perkosaan, melobi pembuat kebijakan, atau
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pencerahan gender pada
masyarakat.Partisipasi dalam segenap aktivitas tersebut dapat dapat
memberdayakan klien dan membantunya melihat hubungan antara pengalaman
pengalaman-pengalaman personalnya dengan konteks sosiopolitik di masyarakat.
i.
Bergabung dengan
group work
Group work menjadi populer
sebagai cara bagi para wanita untuk mendiskusikan kurang dihargainya suara
mereka dalam berbagai aspek di masyarakat. Secara historis, group work telah
digunakan dalam rangka penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan
dukungan kepada para wanita.Kelompok consciousness-raising adalah kelompok yang
pertama kali memfasilitasi para wanita untuk berbagi pengalaman ditekan dan
tidak berdaya.Dengan cepat kelompok ini kemudian berubah menjadi kelompok
self-help yang memberdayakan para wanita dan menantang pola-pola sosial saat
itu.Terapi feminis dapat mendorong kliennya untuk bertransisi dari terapi
individual ke format kelompok ini. Dengan bergabung bersama group work
tersebut, klien akan menyadari bahwa ia tidak sendiri. dengan bergabung di
group work, ia akan memperoleh validasi
atas pengalamannya. Kelompok ini akan menambah jaringan sosial klien,
mengurangi perasaan terisolasi, dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan
untuk saling berbagi. Kelompok menyediakan dukungan di mana para wanita dapat
saling berbagi dan mengekplorasi secara kritis pesan-pesan yang telah
diinternalisasinya mengenai harga diri dan posisi di masyarakat. Saling
keterbukaan antara anggota dan pemimpin kelompok akan menyebabkan eksplorasi
diri yang lebih dalam, rasa universalitas, dan meningkatkan kohesivitas. Para
anggota kelompok dapat belajar menggunakan power secara efektif dengan saling mendukung
satu sama lain, mempraktikkan keterampilan-keterampilan berperilaku,
mempertimbangkan aksi sosial/politik, dan dengan mengambil resiko interpersonal
dalam seting yang aman.
I. Kelebihan
dan Kekurangan
1)
Kelebihan
·
Praktik terapi
feminis adalah terapi yang pertama yang sensitif gender, yang kemudian
memberikan pengaruh kepada teori terapi lain untuk memberikan perhatian pada
perbedaan peran pria dan wanita di masyarakat.
·
Terapi feminis
mempertimbangkan dampak konteks budaya dan tekanan sosial terhadap masalah
klien. terapi ini memperhatikan faktor-faktor intrapsikis dan konteks sosial
sebagai penyebab masalah. Tidak seperti terapi yang lain yang hanya fokus pada
intrapsikis saja.
·
Terapi feminis
mengusahakan kesetaraan posisi dan power antara terapis dan klien. Karena
sebagian besar teori konseling/terapi memposisikan terapis lebih tinggi dari
klien. Bagi terapi feminis, ketimpangan posisi tersebut akan semakin
meningkatkan rasa ketidakberdayaan klien yang muncul dalam sikap ketergantungan
pada terapis, rendah self-esteem, dan sejenisnya.
·
Terapi feminis
menyumbangkan kontribusi penting pada dunia konseling dan psikoterapi dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap teori konseling dan
psikoterapi tradisional.
·
Prinsip-prinsip
terapi feminis telah diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti:
supervisi, pembelajaran, konsultasi, penelitian, dan sebagainya.
·
Prinsip-prinsip
dan teknik-teknik terapi feminis dapat diintegrasikan dengan teori lain, serta
begitu pula sebaliknya.
2)
Kekurangan
·
Terapis feminis
tidak berposisi netral. Walaupun terapis menginformasikan orientasi terapi dan
nilai yang dianutnya di awal terapi, bila tidak hati-hati, terapis dapat
memaksakan orientasi dan nilainya tersebut pada klien.
·
Fokus terapi feminis
pada konteks sosial sebagai penyebab masalah dapat membuat klien tidak
bertanggungjawab atas perilakunya sendiri.
·
Terdapat banyak
sekali aliran feminisme yang saling berseberangan satu sama lain sehingga juga
berpengaruh pada sulitnya menemukan kata sepakat antara para pakar dan terapis feminis.
·
Konsep-konsep
terapis feminis tidak sejelas konsep-konsep terapi tradisional dan terapi
modern/posmodern lainnya.
·
Terapi feminis
tampak lebih tepat dikatakan sebagai gerakan politik daripada sebuah.
·
Sangat sulit menemukan
institusi yang secara khusus melatihkan konseling dan psikoterapi feminis. Hal
ini juga berdampak pada kredensialitas para terapis yang berorientasi feminis.
·
Belum terlalu
banyak penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan efektifitas terapi feminis
dalam menangani masalah.