Thursday, 30 April 2015

Jokowi “Menyindir” Balik Anggun Cipta Sasmi dan Menjawab Keraguan

“Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan 18.000 jiwa meninggal akibat narkoba”. Pernyataan di atas merupakan penegasan sikap terbaru dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo atas penolakan terhadap grasi terpidana mati. Pernyataan tersebut disampaikan seusai menghadiri acara silaturahmi dengan insan pers nasional.

Pernyataan-pernyataan serupa juga sudah seringkali disampaikan. Akan tetapi ternyata keseriusan Pemerintah yang ingin melindungi generasi dan anak bangsa dari kehancuran akibat narkoba tidak mendapat respon yang baik dari seluruh komponen anak negeri. Masih ada saja dari kelompok bagsa ini, baik secara perorangan maupun institusional mengecam sikap tegas Pemerintah. Bagi mereka, eksekusi mati terhadap para pelaku (baik bandar maupun pengedar narkoba) merupakan pengambilan paksa hak hidup dan  sebagai sebuah tindakan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusian. 

Kontroversi Hukuman Mati
Kemarin malam  (Senin, 27/04/2015) dalam program Debat di TV One, terjadi “perdebatan” antara pendukung dan penentang (anti) eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkoba. Kelompok pendukung diwakili oleh Ketua Gerakaan Anti Narkotika (Granat), Henry Yosodiningrat, yang juga merupakan anggota DPR RI Fraksi Partai PDIP dan Dikrektur BNN, Beny Mamoto. Sedangkan kelompok penolak hukuman mati diwakili oleh Ketua LBH Jakarta, Alvon, dan seorang dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Dalam perdebatan itu terlihat jelas, bagaimana kelompok anti eksekusi mati ini mati-matian membela seorang Mary Jane Velloso (dan mungkin pula yang lain) - lepas dari ia sebagai pengedar atau hanya sebagai kurir - agar tidak dieksekusi mati. Bahkan secara lugas, Henry Yosodiningrat, mengingatkan bahwa janganlah karena nyawa seseorang yang telah melalui proses peradilan sampai pada level tertinggi dan dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah dalam tindakan kejahatan narkotika, mereka tega “mempermalukan” negeri yang telah memberi hidup dan membesarkan mereka, di mata Internasional. Dan kelihatannya kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini, terutama LSM-LSM  yang hidup dan matinya mengharapkan dana donasi negara donor (dari luar negeri). Mereka seakan takut menyuarakan sikap untuk pula mendukung kebijakan Pemerintah, karena khawatir “dapur” mereka tidak lagi mengepul asap. Mereka berusaha berlindung di balik isu HAM bagi terpidana, sehingga lupa bahwa korban narkoba juga mempunyai hak yang sama untuk dilindungi dengan alasan HAM pula. Celakanya para korban itu adalah anak negeri sendiri, sementara para terpidana mati yang dibela mati-matian adalah warga negara asing, yang entah di negara asalnya cukup terkenal dan punya pengaruh dan kontribusi besar terhadap negaranya atau tidak. Kalau pun ada kontribusi dan pengaruh mereka terhadap negara asalnya, peduli apa kita?

Tadi malam, pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, menjelang pelaksanaan eksekusi, pro kontra terhadap hukuman mati dan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkoba masih saja riuh rendah. Seperti biasa, kelompok-kelompok penentang hukuman mati ini kembali mengulangi argumen yang sama untuk membela para terpidana mati agar tidak dieksekusi. Kelompok-kelompok ini dengan begitu gigih dan tanpa “malu-malu” menggunakan isu HAM dan otoritas pengambilan nyawa (hak hidup) oleh Sang Pencipta, mencoba mempengaruhi dan mempermainkan perasaan dan opini publik.
Penulis tidak ingin mengulas pendapat semua “pakar” yang hadir pada acara ILC TV One tadi malam, tapi hanya mengambil satu pendapat sebagai sampel. Atas argumen hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa seseorang, Mantan Jaksa Agung, Abdul Rahman Shaleh, secara berseloroh menyindir, bahwa meski para terpidana dihukum dengan cara dieksekusi oleh regu tembak, toh, tetap saja nyawa seseorang hanya Tuhan yang bisa mengambilnya (mematikan). 

Di negara-negara asal terpidana yang akan dieksekusi mati, seperti Australia, Philipina, dan Perancis, muncul gerakan dan demonstrasi yang berpusat di kantor-kantor kedutaan besar Republik Indonesia (KBRI) untuk menyampaikan protes dan menentang hukuman mati. Begitu pula di Perancis. Turut pula bergabung dalam demonstrasi menentang Pemerintah Indonesia itu adalah seorang warga Perancis keturunan Indonesia, yang karena menikah dengan warga negara Perancis, maka “terpaksa” harus pindah dan bertukar status kewarganegaraannya. 

Kegundahan Seorang Musisi yang Mantan WNI
Di tengah tekanan dari Pemerintah dan warga negara lain akibat warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dan pula tekanan kelompok-kelompok kepentingan di dalam negeri, seorang warga negara Perancis kelahiran Indonesia, yang lahir dan besar melalui bumi dan air tanah pertiwi, dengan pongah mengirim surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Ia dengan percaya diri, berdiri bagai seorang yang sangat tahu dan paham tentang HAM, “menceramahi” Presiden Jokowi. Ya, ia adalah Anggun Cipta Sasmi. Seorang musisi dan penyanyi rocker wanita, yang karena alasan ingin “mendunia” maka berpindah menjadi warga negara asing, itupun seelah “dinikahi” warga Perancis. 

Mungkin karena Anggun C. Sasmi merasa bahwa dalam darahnya telah pula “teraliri” darah Perancis melalui suaminya, sehingga ia dengan enteng membela seorang terpidana mati, seorang bandar narkoba, Serge Atlaoui, dan lupa bahwa di negeri asal kedua orangtuanya, dalam sehari harus mengikhlaskan 50 jiwa meregang nyawa sia-sia karena narkoba. Menurutnya, menghukum seorang Serge Atlaoui, itu sama saja dengan membangunkan emosi yang sangat dalam di Eropa. Entah atas alasan dan logika mana, ia, Anggun C. Sasmi, mengklaim bahwa sentimen etnis Eropa akan tersulut bila Pemerintah Indonesia melanjutkan keputusan men-dor seorang Serge Atlaoui, yang bukan siapa-siapa di Eropa, tapi hanya seorang bandar narkoba, perusak masa depan generasi anak negeri.
Padahal seperti ia sendiri tegaskan dalam suratnya, bahwa ia sangat mengerti dengan dampak negatif narkoba, terutama - terhadap generasi anak negeri, yang sedang tumbuh menatap masa depan -  di Indonesia. Tapi mengapa, ia, Anggun C. Sasmi hanya memilih seorang Serge Atlaoui, yang kebetulan pula seorang warga Pernacis yang ia bela? Sementara dalam gerbong terpidana yang akan dihukum mati masih ada warga dari negara lainnya
Jika demikian, ini adalah kerancuan dan sesat pikir yang coba dibangun dan ditularkan kepada orang lain. Celakanya, kerancuan dan sesat pikir itu, juga  digunakan untuk mempengaruhi Presiden Jokowi, agar mau menganulir keputusannya mengeksekusi mati Serge Atlaoui. Ternyata, demi untuk menyenangkan sentimen “keeropaan” yang  terpaksa melekat pada dirinya melalui suaminya, ia seakan menutup naluri dasarnya untuk sekedar merasa empati terhadap penderitaan generasi anak negeri. Alih-alih ingin menunjukkan kegalauan hatinya, karena seorang warga Perancis, Serge Atlaoui, yang turut pula akan dihukum mati, malah hanya menunjukkan “kelatahan” bodoh membela seseorang yang tidak pantas untuk dibela. 

Jokowi Menyindir Balik dan Menjawab Keraguan
Seakan ingin membalas surat terbuka yang dikirimkan kepadanya, Presiden Jokowi, seusai menghadiri acara silaturahmi Dewan Pers Nasional, tadi malam (27/94/2015), menegaskan bahwa ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa narkoba. Dalam pandangan Presiden, narkoba telah merusak generasi bangsa, di mana dalam sehari merenggut nyawa anak negeri 50 jiwa, sehingga bagi Presiden, hukuman mati merupakan hal yang pantas dan sepadan atas akibat yang ditimbulkan oleh narkoba.

Bahkan secara tegas Presiden menantang semua kelompok yang menentang hukuman mati untuk pula berjalan-jalan ke tempat-tempat rehabilitasi kasus narkoba. Dengan datang dan menyaksikan langsung akibat narkoba bagi para pecandu dan penggunanya, mungkin akan terbuka mata hati dan juga bathinnya, bahkan sambil terbelalak, tanpa menyadari, kemudian, menyeletuk keluar kalimat dari mulutnya yang sedang menganga, kalaimat, “ooo begitu ya akibat narkoba!” Presiden berujar, “pergi ke tempat rehabilitasi, yang berguling, meregang, teriak, cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu (terpidana mati) dengan 18.000 (jiwa)”.

Dini hari tadi, (Rabu, 29/04/2015) sekitar pukul 00. 30 waktu setempat, di Nusakambangan, Jokowi membuktikan komitmennya, lebih memilih membela dan menyelamat anak negeri, generasi pelanjut, daripada mengikuti “ego” sekelompok orang atau kelompok-kelompok kepentingan, yang merasa “terancam” sumber pendanaannya, bila para terpidana mati benar-benar dieksekusi oleh para regu tembak. Meski masih ada pertanyaan yang tertinggal dari pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua ini. Sedianya, yang akan menjalani prosesi eksekusi mati melalui regu tembak sebanyak 10 orang terpidana mati. Akan tetapi karena alasan salah seorang terpidana mati warga Perancis  yang masih melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menggugat pertimbangan penolakan grasi, dan juga seorang terpidana mati warga Philipina, atas permintaan Presidennya, karena ada “novum” baru, sehingga terpaksa ditunda pelaksanaan eksekusinya. Jadi yang “terlibat” dalam eksekusi mati dini hari tadi (Rabu, 29/04/2014) hanya delapan orang terpidana mati, termasuk dua “Bali Nine”. 

Jangan juga ada pihak yang merasa ge’er atas penundaan ekseksui mati atas dua terpidana mati ini, khususnya warga Perancis. Penundaan itu tidak ada hubungannya dengan permintaan yang disampaikan melalui surat terbuka oleh seorang rocker itu maupun ancaman dari Presidennya. Melainkan hal itu dilakukan karena pertimbangan menghormati upaya hukum yang sedang dilakukan oleh para terpidana (Serge Atlaoui dan Mary Jane Velloso). 

Kita berharap penunadaan itu tidak berlangsung lama. Jika tidak, dunia Internasional akan menilai bahwa Indonesia sedang menerapkan standar ganda (double standart). Indonesia sedang menjalankan politik diskriminatif dalam penegakkan hukum. Di satu sisi mengeksekusi delapan terpidana mati, sementara di pihak lain berusaha “menyelematkan” dua terpidana mati yang lain. Jangan sampai Pemerintah negara-negara yang warga negaranya telah dieksekusi mati, mempunyai stigma bahwa Pemerintah Indonesia tidak cukup “kredibel” dalam hal penegakkan hukum karena masih mengakomodir upaya-upaya mengulur-ulur waktu (buying time). Lebih jauh malah akan membuat Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi merasa “dikhianati” sehingga memberikan reaksi balik yang tidak proporsional.

Menyikapi Reaksi Balik
Tentang reaksi itu, sepertinya sudah mulai nampak di depan mata. Pemerintah Australia, langsung memberikan reaksi mengecam pelaksanaan eksekusi mati terhadap dua warganya. Bahkan akan segera diikuti dengan menarik duta besarnya kembali ke Australia. Padahal sudah jauh-jauh hari mereka melakukan berbagai upaya, termasuk diplomasi donasi tsunami Aceh, toh pada akhirnya kandas di tangan Jokowi. Ini akan membuat perasaan PM Australia, seperti “tercampakkan”. 

Hari-hari berikutnya kita pasti akan menyaksikan parade reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya ikut pula dieksekusi mati dini hari tadi. Reaksi itu, baik berupa pernyataan sikap keberatan, mengecam, menarik duta besar mereka, (seperti akan dilakukan Australia dan juga Pemerintah Brasil ketika eksekusi tahap pertama berlangsung), maupun pada tahap yang lebih jauh memutuskan hubungan diplomatik. Semua dampak itu, hendaknya sudah diperhitungkan secara matang sehingga Pemerintah dapat mempersiapkan langkah-langkah preventif dan antisipatif lebih awal. Kita juga percaya bahwa semua resiko dan dampak dari keputusan untuk tetap melaksanakan eksekusi mati sudah dipersiapkan sejak awal. Pemerintah juga pasti telah membuat simulasi dari skenario yang akan dijalankan setelah pelaksanaan eksekusi mati. Dan semua itu, muaranya hanya satu semata-mata menyelamatkan generasi anak negeri, dan lebih jauh mempertahankan wibawa dan martabat Indonesia di mata dunia Internasional bahwa kita memiliki kedaulatan hukum yang harus pula dihormati. 

Pemerintah juga tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan atas kemungkinan reaksi dari Pemerintah yang warga negaranya telah dieksekusi mati, apalagi harus mengambil sikap ofensif. Begitu pula tidak perlu juga memperlihatkan sikap defensif. Semuanya harus diletakkan pada konteks yang proporsional dan wajar.

Tuesday, 13 January 2015

Terapi Feminis


A.    Terapi Feminis
Terapi Feminis adalah proses terapi yang menempatkan gender dan kekuatannya sebagai inti terapi. Dibangun berdasarkan asumsi bahwa permasalahan seseorang sangat terkait dengan konteks sosial dan budaya di mana ia tinggal. Pada kenyataannya, kebanyakan klien adalah seorang wanita.Begitu pula para terapis kebanyakan juga wanita. Sehingga perlu ada sebuah terapi yang disusun berdasar proses berfikir dan pengalaman wanita.Konsep sentral dalam terapi feminis adalah pentingnya memahami tekanan psikologis para wanita dan pembatasan-pembatasan yang timbul dari status sosiopolitik yang memojokkan wanita. Perspektif feminis menawarkan pendekatan yang unik untuk memahami peran perempuan dan laki-laki, dan membawa pemahaman tersebut ke dalam proses terapi. Proses sosialisasi perempuan tak pelak akan berpengaruh pada perkembangan identitas, konsep diri, tujuan dan aspirasi, dan kesejahteraan emosionalnya. Terapi feminis berbeda dari teori atau pendekatan terapi lainnya. Terapi ini didirikan atas usaha bersama oleh banyak orang sehingga tidak ada pendiri tunggal. terdapat beberapa pribadi yang telah memberikan kontribusi penting terhadap terapi feminis yaitu sebagai berikut:

·         Jean Baker Miller, M.D
Adalah professor disebuah klinik psikiater di universitas Boston, Sekolah Pengobatan dan direktur dari Jean Baker Miller Institute training di Stone Center, Wellesley college. Dia adalah penulis buku tentang “psikologi seorang wanita” dan asisten pengarang “penyembuhan hubungan”. Bagaimana bentuk terapi hubungan kewanitaan di kehidupan dan perkembangan hubungan wanita”  dia adalah seorang psikiater dan psikoanalis. Miller adalah anggota dari Asosiasi Psikiater Amerika, Akademi Psikoanalis Amerika, dan dia telah menjadi anggota dewan yang terpercaya dari keduanya.Dan akhir decade ini dia telah berhasil mengembangkan kerjasama antar sekolah dan lembaga untuk melanjutkan perkembangan teori hubungan budaya.Dia juga telah mengembangkan teori ini dan menjelajahi bentuk baru untuk melengkapi isu-isu di psikoterapi dan diluarnya, isu-isu yang berhubungan dengan aksi social dan perubahan tempat kerja.

·         Corolyn Zerbe Enns, Ph.D
Seorang professor psikologi, dia adalah seorang yang aktif berpartisipasi diprogram pembelajaran wanita di Conell college di Mt. varnon, lowa.Enns menjadi tertarik pada terapi kewanitaan sejak dia menyelesaikan gelar Ph.D nya, di Psikologi Konseling, universitas Barbaro.Dia sangat menyukai pekerjaanya yang mempelajari perbedaan – perbedaan teori yang ada pada teori kewanitaan. Enns yakin bahwa dalam terapi kewanitaan memiliki ragam teori  yang memiliki dampak yang besar bagi nilai – nilai terhadap teori kewanitaan, dan hal itu dibahasnya dalam buku nya : “terapi kewanitaan dan psikoterapi kewanitaan”. Asal, latar belakang dan perbedaan sebagai perluasan komitmen untuk perubahan social, Enns melayani dari tahun 1994 sampai 1998 sebagai ketua devisi 17 psikologi amerika. Dia juga sebagai wakil ketua di lembaga konseling, psikologi bersama para perempuan.Dia memiliki peranan penting dan sangat berperan penting pada terapi kewanitaan.Dia memperkenalkan terapi kewanitaan di dunia dan dia menulis tentang macam – macam budaya terapi kewanitaan.

·         Olivia M.Espin, Ph.D
Seorang professor di lembaga studi tentang wanita di Universitas San Diego, dan salah satu fakultas di sekolah professional psikologi California, San Diego.Dia adalah pelopor teori dan praktek dari terapi kewanitaan bersama para perempuan yang berbeda latar belakang budaya dan telah mengajar, meyebarluaskan, dan mencoba beberapa isu – isu ragam budaya di psikologi.Espin telah menerbitkan psikologi bersama Latinas, wanita imigran.dia telah menulis derita Latina, kekuatan hidup dan tradisinya. Realita Latina, menghadapi derita sexualitas dan migrasi. Batas-batas penyimpangan terhadap wanita dan memilih mempelajari dasar wanita imigran di seluruh dunia.

·         Laura S. Brown, Ph.D
Laura S. Brown adalah anggota pendiri Institut Terapi feminis.Institut terapi feminis adalah suatu organisasi yang didedikasikan untuk mendukung teori dan praktek terapi feminis. Brown juga adalah anggota teori kelompok kerja pada National Conference on Education and Training in Feminist Practice. Brown menulis beberapa buku dan bukunya yang berjudul Theory in Feminist Therapy (1994) diangap sebagai buku dasar teori terapi feminis. Brown memberikan kontribusi tentang bagaimana berpikir tentang etika dan pembatasan-pembatasan serta kompleksitas praktek etis dalam komunitas kecil. Dan saat ini ia berminat terhadap praktek feminis untuk masalah-masalah forensik dan penerapan prinsip-prinsip feminis untuk mengobati traumatik.
                                                                                                                 
B.     Sejarah dan Perkembangan
Terapi feminis berawal dari gerakan feminisme di Amerika Serikat pada tahun 1960-an, yang didasari oleh satu hal yang menyatukan mereka yaitu tentang kejenuhan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum yang bersifat patriaki. Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.Pada tahun 1960an lah, di Amerika, para wanita membentuk sebuah forum untuk secara aktif mengutarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem sosial patriarkal yang memposisikan mereka sebagai anggota masyarakat kelas dua.Feminisme, yang merupakan dasar filosofis bagi terapi feminis, “bertujuan untuk menumbangkan patriarki dan mengakhiri diskriminasi gender melalui transformasi kultural dan perubahan sosial radikal” (Brown, 1994). Betty Freidan, salah satu aktivis feminis paling vokal menuliskan wajah feminisme ini dalam bukunya, The Feminine Mystique (1963).Berkat Betty Freidan pula lah berdirinya organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966.
NOW, sebuah organisasi yang getol menyuarakan reformasi struktur social dan peran tradisional wanita, dan feminism antara tahun 1960 sampai 1970-an. Seiring dengan pertumbuhan gerakan feminis, beberapa perempuan membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan penyadaran (consciousness raising) dan mendiskusikan lemahnya suara kolektif mereka dalam politik, tempat kerja, ekonomi, pendidikan, dan arena sosiopolitik signifikan lainnya. Kelompok Consciousness Raising (usaha penyadaran para wanita) awalnya merupakan kelompok-kelompok para wanita yang bertemu secara semi terstruktur untuk berbagi pengalaman atas tekanan dan ketidakberdayaan yang mereka alami. Kelompok-kelompok ini kemudian berkembang menjadi kelompok self-help (tolong diri) yang tertata dalam memberdayakan para perempuan dan menentang norma sosial yang ada saat itu.
Terapi feminis yang berkembang dari kelompok Consciousness Raising ini, yang kemudian memainkan peranan penting dalam pendidikan, radikalisasi, dan mobilisasi perempuan pada awal tahun 1970-an. Kelompok Consciousness Raising ini lebih banyak mengambil peran dalam melakukan perubahan personal dan memberikan support bagi para anggotanya. Tahun 1970 merupakan awal terbentuknya terapi feminis sebagai salah satu pendekatan dalam psikoterapi.Konseling dan psikoterapi feminis fase awal ini didasari oleh pandangan bahwa para perempuan sama-sama memiliki pengalaman ditekan dan menjadi korban.Karena itu, hanya pendekatan proaktiflah yang secara efektif dapat membantu mereka.
Terapi Feminis juga tidak selamanya mendapa pujian, akan tetapi kritik dan sikap kontra kerap kali ditujukan kepada jenis terapi ini, Kritik seringkali datang dari mereka yang tidak familiar dengan teori-teori feminisme dan mereka yang memiliki konsep keliru bahwa terapi feminis adalah terapi yang anti laki-laki. Menurut Ballou dan Gabalac (1984) dan Enns (1992), para konselor dan terapis feminis tidaklah anti laki-laki; mereka hanya berusaha agar terjadi kesetaraan sosial bagi wanita.

C.    Prinsip-Prinsip Terapi feminis
Sejumlah penulis feminis telah menulis beberapa prinsip inti yang menjadi dasar dari praktik Terapi feminis. Prinsip-prinsip tersebut saling berhubungan dan bertumpangtindih satu samalain. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:

1)      Masalah individu bersumber dari konteks politis
Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang dibawa oleh klien ke dalam terapi bersumber dari konteks politik dan sosial. Khusus untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari konteks marginalisasi, opresi, subordinasi, dan stereotipisasi. Pandangan tentang dampak konteks politik dan sosial terhadap kehidupan individu ini merupakan prinsip paling fundamental yang mendasari terapi feminis.

2)      Komitmen pada perubahan sosial
Terapi feminis tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Para terapis feminis memandang praktik terapinya tidak hanya untuk membantu klien menyelesaikan masalahnya secara individual, namun juga untuk mewujudkan transformasi sosial. Aksi nyata untuk melakukan perubahan sosial merupakan bagian dari tanggung jawab mereka sebagai terapis. Sangatlah penting bagi para wanita yang terlibat dalam terapi(baik klien ataupun terapis) untuk menyadari bahwa masalah yang mereka alami bersumber dari tekanan/opresi sebagai anggota masyarakat kelas dua dan bahwa mereka dapat berjuang bersama para wanita lainnya untuk mewujudkan perubahan. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kondisi sosial yang membebaskan para wanita dan laki-laki dari kekangan-kekangan yang timbul akibat ekspektasi peran gender, yang hasil akhirnya adalah perubahan individual.

3)      Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria
            Perspektif wanita merupakan hal yang sentral dalam memahami permasalahan yang dibawa oleh klien ke dalam terapi. Konseling-konseling tradisional yang menggunakan norma-normaandrocentic, menggunakan laki-laki sebagai ukuran, sehingga dengan begitu, wanita seringkali ditemukan menyimpang dari norma tersebut. Banyak teori dan penelitian psikologis yang cenderung mengkonseptualisasikan pria dan wanita dalam pola yang sama. Tujuan terapi feminis adalah untuk mengganti “kebenaran obyektif patriarkal” dengan kesadaran feminis, yang mengakui perbedaan cara dalam memahami sesuatu. Para wanita didorong untuk menghargai emosi dan intuisinya, serta menggunakan pengalaman pribadinya sebagai dasar untuk menentukan “realitas”. Suara wanita diakui sebagai sumber pengetahuan yang otoritatif dan tidak terhingga nilainya. Penghargaan dan fasilitasi suara wanita di dalam dan di luar terapi ini akan menghilangkan kediaman wanita dan berkontribusi pada perubahan pokok dalam kondisi politik di masyarakat.

4)      Hubungan terapi berlangsung secara egaliter
Salah satu perhatian utama terapi feminis adalah mengenai power dan hubungan terapi yang egaliter. Para terapis feminis mengatakan bahwa telah terjadi ketimpangan power dalam hubungan konseling/terapi, sehingga mereka teguh mengusahakan egaliterianisme hubungan terapeutik serta menanamkan dalam-dalam prinsip bahwa klien adalah ahli untuk dirinya sendiri. Sebuah diskusi yang penuh keterbukaan mengenai powerdan perbedaan-perbedaan peran dalam hubungannya akan membantu klien untuk memahami bagaimana dinamika powerberpengaruh pada proses terapi dan hubungan lainnya. Penemuan cara untuk saling menyeimbangkan powerdan men-demistifikasi terapi adalah merupakan hal yang esensial bagi terapis feminis. Hal ini karena mereka meyakini bahwa proses terapi seharusnya penuh dengan kesejajaran atau mutualitas.

5)      Fokus pada kekuatan dan reformulasi definisi masalah psikologis
Beberapa terapis feminis menolak untuk memberikan label diagnostik “penyakit mental” pada klien. Menurut mereka, faktor intrapsikis hanyalah penyebab parsial dari masalah yang dibawa oleh klien ke dalam terapi. Konsep masalah di-reframing, tidak sebagai penyakit namun sebagai komunikasi mengenai ketidakadilan sistem. Jika yang dianggap sebagai penyebab masalah adalah variabel-variabel kontekstual, maka secara otomatis simtom-simtom di-reframing sebagai strategi untuk survival. terapis feminis membicarakan masalah dalam konteks kehidupan dan strategi menyelesaikannya, bukan dalam konteks patologi.

6)      Mengenali semua bentuk tekanan
Terapis feminis memahami bahwa ketimpangan sosial dan politik berdampak negatif pada semua orang.Terapis feminis berusaha untuk membantu individu membuat perubahan dalam hidupnya serta perubahan sosial yang akan membebaskan masyarakat dari stereotyping, marginalisasi, dan opresi. Tujuan kuncinya adalah untuk melakukan intervensi dengan cara yang dapat menghasilkan perubahan dalam lingkungan sosiopolitik yang disfungsional. Sumber-sumber opresi, tidak hanya gender, diidentifikasi dan dieksplorasi secara interaktif sebagai basis untuk memahamiconcern klien. Membingkai masalah dalam konteks kultural akan membawa pada pemberdayaan klien, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan sosial.

D.    Tujuan Terapi Feminis
Tujuan utama terapi feminis adalah sebuah perubahan, baik secara individu maupun masyarakat secara menyeluruh.Dalam level individual, terapi bertujuan untuk membantu, baik pria maupun wanita, mengenali dan menggunakan kekuatan personal mereka.Dengan demikian, klien dapat membebaskan diri mereka dari tekanan sosial (gender) dan mengembangkan alternatif dan pilihan hidup.Terapi feminis adalah sebuah kesadaran politis.Bertujuan untuk merubah system patriarkal dalam masyarakat dengan kesadaran feminist.Sehingga hubungan dalam masyarakat bersifat saling tergantung, kooperatif dan saling menguntungkan.
Berikut tujuan dari terapi feminis:
1.      Penghilangan symptom (symptom removal).
Tujuan ini merupakan tujuan terapi tradisional, di mana juga dapat digunakan dalam terapi feminis asalkan tidak mengganggu tumbuh kembang wanita.
2.      Self-esteem (harga diri).
Yang dimaksud dengan self-esteem dalam terapi feminis adalah adalah tidak menggantungkan diri pada sumber-sumber eksternal (apa yang dipikirkan oleh orang lain), namun berdasar pada perasaan pribadi terhadap dirinya sendiri. Untuk wanita, ini artinya melakukan sesuatu berdasarkan kriteria dirinya sendiri dan tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain (teman, keluarga, dan media) katakan tentang bagaimana seharusnya ia berpenampilan, bertindak dan berpikir.
3.      Kualitas hubungan interpersonal.
Kualitas hubungan interpersonal ini harus meningkat setelah berlangsungnya terapi.Bagaimanapun, menjadi lebih ekspresif, fasilitatif, dan peduli pada teman dan keluarga tidak perlu sampai mengorbankan kebutuhan pribadi terapi. Daripada menjadi tergantung pada orang lain, para wanita dapat meningkatkan hubungannya dengan cara bersikap lebih asertif. Tujuan terapi feminis tidaklah hanya untuk meningkatkan hubungan dengan teman dan keluarga, namun terapi ini juga memberikan perhatian pada kualitas hubungan dengan para wanita.
4.      Body image dan sensualitas
Body image dan sensualitas seringkali dicirikan untuk wanita oleh media dan laki-laki, karena masyarakat memang sangat mementingkan kemenarikan fisik bagi wanita. Tujuan terapi feminis adalah untuk membantu individu-individu agar menerima kondisi fisik dan seksualitasnya, serta tidak menggunakan standar orang lain dalam menilai kondisi fisiknya sendiri. Keputusan orientasi seksual juga harus diputuskan oleh individu tanpa adanya paksaan dari orang lain.
5.      Perhatian pada perbedaan (attention to diversity).
Merujuk pada penghargaan atas perbedaan budaya klien.Walaupun para klien perempuan memiliki beberapa masalah dan tujuan yang nyaris seragam, kehidupan mereka dibentuk oleh pengalaman yang beragam yang berasal dari latar belakang budaya, bahasa, agama, ekonomi, dan orientasi seksual yang berbeda.
6.      Kesadaran politik dan aksi sosial adalah tujuan pokok terapi feminis.

Dengan tujuan khusus tadi, proses terapi dilakukan untuk:
1.      Membantu, baik pria maupun wanita, untuk percaya pada pengalaman dan intuisi mereka.
2.      Mengajak klien untuk mengapresiasi hubungan dengan wanita
3.      Membantu wanita untuk memperhatikan diri mereka sendiri.
4.      Membantu wanita untuk menerima dan menyukai tubuh mereka.
5.      Membantu wanita untuk berbuat sesuai dengan kebutuhan seksual mereka sendiri bukan berdasar kebutuhan seksual orang lain.

E.     Fungsi dan Peran Terapis
Terapi feminis bersifat keterbukaan diri “dengan tujuan dan kebijaksanaan”.Sehingga terapis berperan sebagai individu yang setara dengan klien alih-alih sebagai seseorang yang lebih ahli.Terapis dan klien berperan aktif dan setara, bekerja bersama untuk menentukan tujuan terapi.Para terapis feminis telah mengintegrasikan feminisme ke dalam pendekatan konseling dan ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tindakan, keyakinan, serta kehidupan personal dan profesional mereka sejalan dengan feminisme ini. Mereka berkomitmen untuk selalu memonitor bias dan distorsi pribadi mereka, khususnya mengenai dimensi sosial dan kultural pengalaman wanita. Terapis feminis juga berkomitmen untuk memahami penindasandalam segala bentuknya (seksisme, rasisme, heteroseksisme) dan mencoba menyadari dampak penindasan dan diskriminasi tersebut pada kesejahteraan psikologis seseorang.Mereka bersedia hadir secara emosional untuk kliennya, mau berbagi selama sesi terapis, menjadi model perilaku-perilaku proaktif, dan berkomitmen pada proses peningkatan kesadaran (counsciousness-raising) pribadinya. Akhirnya, walaupun para terapis feminis mungkin menggunakan teknik dan strategi dari teori lain, mereka sangat unik dengan asumsi-asumsi feminis yang mereka pegang teguh.

F.     Pengalaman Klien dalam Proses Terapi
Dalam terapi feminis, klien bertindak sebagai peserta yang aktif.Alih-alih diam dan menerima nasehat dari terapis, klien aktif bercerita dan menyuarakan pikirannya.Klien boleh meminta pendapat atau saran dari terapis. Terapis mengembalika tanggungjawab penyelesaian masalah pada klien, sehingga klien yakin bahwa dirinya mampu mengatasi masalah yang ia hadapi.
Self-disclosure yang tepat dibenarkan dalam terapi feminis. Terapis perempuan dibenarkan berbagi pengalaman pribadinya, termasuk mengenai opresi/penindasan peran gender. Kesadaran klien akan semakin meningkat begitu dilakukan analisis stereotip peran gender.
Terapis feminis tidak hanya memberikan layanan pada klien perempuan saja,ia juga melayani klien laki-laki, pasangan, keluarga, dan anak-anak. Hubungan terapi selalu berbentuk hubungan partnership. Bila kliennya pria, klien didaulat sebagai ahli untuk menentukan apa yang ia butuhkan dan inginkan dari terapi. Ia akan mengeksplorasi hal-hal di mana sosialisasi peran gender telah membatasinya. Ia akan menjadi lebih menyadari bagaimana ia terbelenggu untuk mengekspresikan emosi. Dalam sesi terapi yang aman ini, ia dapat mengalami secara penuh perasaan-perasaan seperti kesedihan, kelembutan, ketidakpastian, dan empati. Begitu ia mentransfer gagasan-gagasan ini ke dalam kehidupan nyata, ia akan rasakan perubahan hubungan dalam keluarga dan dunia sosial lainnya.

G.    Hubungan Antara Klien dan Terapis
Dalam terapi feminis, hubungan antara klien dan konselor/terapis didasarkan pada prinsip pemberdayaan dan kesetaraan. Terapis harus cermat dalam memposisikan diri jangan sampai klien merasa terapis lebih berkuasa dalam proses terapi tersebut, misal dengan memberi diagnosa yang tidak perlu/berlebihan, nasihat dan perilaku lain yang menunjukkan terapis lebih ahli daripada klien.
Terapis fokus pada kekuatan diri yang dimiliki oleh klien. Terapis memberi klien tanggung jawab dan kebebasan untuk memilih apa yang dimaui oleh klien. Terapis harus mampu mendemistifikasi proses terapi, dengan sharing mengenai bagaimana persepsi terapis terhadap konteks hubungan yang dialami klien. Terapis menjadikan klien sebagai partner yang aktif dalam menentukan diagnosa terhadap masalah mereka sendiri. Ketika mengajukan suatu teknik tertentu ia menjelaskannya dengan gamblang, dan menerima dengan sadar jika klien memakai atau menolak anjurannya. Dalam beberapa kasus, terapis dapat membuat sebuah kontrak yang terbuka dan jelas dengan klien mengenai tujuan terapis.

H.    Teknik dalam Terapi Feminis
Beberapa teknik dan strategi konseling/terapi dikembangkan para terapis feminis.Sebagian mengakomodir teknik tradisional dan diadaptasi sesuai teori feminis.Salah satu yang utama adalah teknik meningkatkan kesadaran diri. Dengan teknik ini, klien diharapkan mempu membedakan apa yang telah ia pelajari dari pandangan sosial terhadap gendernya dan apa yang benar-benar baik menurut dirinya. teknik-teknik yang digunakan antara lain:

a.       Pemberdayaan (empowerment)
Tujuan utama strategi-strategi terapi feminis adalah untuk memberdayakan klien, terapis akan mengarahkan perhatian pada isu-isu informed consent, mendiskusikan bagaimana supaya klien dapat memperoleh manfaat secara optimal dari terapis, memperjelas harapan-harapan, mengidentifikasi tujuan, serta menyusun kontrak yang akan memandu proses terapi. Dengan memberikan penjelasan tentang proses terapi dan menjadikan klien sebagai mitra aktif dalam proses terapeutik, proses terapi menjadi terdemistifikasi dan klien akan menjadi partisipan yang kedudukan dan perannya sejajar dengan terapis. klien akan menemukan bahwa ia dapat menentukan sendiri arah, durasi, dan prosedur terapinya.

b.      Membuka diri (self-disclosure)
Terapis feminis menggunakan teknik self-disclosure untuk membuat hubungan terapis-klien menjadi sejajar, menyediakan model, untuk menormalisasi pengalaman kolektif para wanita, untuk memberdayakan klien, serta untuk memformulasikan informed consent.Terapis menggunakan self-disclosure (membuka diri) dalam hal-hal yang disukai klien dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan hakikat disclosure itu sendiri.Self-disclosure yang tepat dapat membantu untuk mengurangi kesenjangan power, berguna untuk memberikan support pada klien, sekaligus dapat membebaskan dan memberdayakan klien.
Terapis juga perlu menyatakan nilai dan keyakinan yang dianutnya tentang masyarakat agar klien dapat memilih untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan terapi. Terapis juga menjelaskan teknik-teknik intervensi yang mungkin akan digunakannya. Sebagai konsumen yang telah memiliki informasi tentang proses terapi, klien dilibatkan untuk mengevaluasi efektivitas strategi-strategi yang dijalankan dan sejauh mana ia telah mencapai tujuannya melalui terapi.

c.       Analisis peran gender (gender-role analysis)
Sebagai ciri khas terapi feminis, analisis peran gender bertujuan untuk mengeksplorasi dampak ekspektasi peran gender pada keadaan psikologis klien dan menjadikannya dasar untuk membuat keputusan tentang perilaku-perilaku peran gender selanjutnya. Teknik ini berfungsi sebagai asesmen sekaligus untuk mendorong perubahan klien. Analisis peran gender dimulai dengan mengidentifikasi pesan-pesan dari masyarakat yang diinternalisasi oleh klien mengenai bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan.

d.      Analisis power (power analysis)
Power analysis mengacu pada sejumlah metode yang bertujuan untuk membantu klien memahami mengenai bagaimana ketimpangan akses power dan sumber daya dapat mempengaruhi realitas personal individu.Secara bersama-sama, terapis dan klien mengeksplorasi bagaimana ketimpangan atau penghalang-penghalang institusional seringkali membatasi aktualisasi diri dan usaha menjadi pribadi yang baik.Dengan teknik power analysis ini, terapis juga akan berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi bentuk power alternatif yang akan dicobanya untuk menantang pesan-pesan peran gender yang melarangnya untuk mencoba power tersebut. Intervensi ini bertujuan untuk membantu klien belajar menghargai dirinya sendiri dengan apa adanya, memperoleh kembali kepercayaan dirinya berdasarkan atribut kepribadian yang dimilikinya, dan merancang tujuan yang dapat memuaskannya.

e.       Biblioterapi
Buku-buku nonfiksi, buku-buku teks konseling dan psikologi, otobiografi, buku-buku self-help, video edukasional, film-film, dan bahkan novel dapat digunakan sebagai sumber biblioterapi. Membaca tentang perspektif feminis mengenai masalah-masalah umum dalam kehidupan wanita (seperti incest, perkosaan, pemukulan, dan pelecehan seksual) akan menyadarkan wanita dari kecenderungan menyalahkan dirinya sendiri dalam masalah-masalah tersebut. Dalam praktiknya, teknik ini dilakukan dengan terapis terlebih dulu menyebutkan beberapa buku yang membahas mengenai ketimpangan-ketimpangan antara pria dan wanita, kemudian klien memilih salah satunya untuk dibaca selama beberapa minggu/hari. Memberikan materi bacaan juga akan meningkatkan pengetahuan dan mengurangi ketimpangan power antara klien dan terapis. Bacaan dapat menjadi suplemen bagi hal-hal yang telah dipelajari klien dalam sesi terapi.

f.       Assertive training       
            Dengan mengajarkan dan mendorong perilaku asertif/tegas, para wanita dapat menyadari hak-hak interpersonalnya, tidak stereotip peran gender, dapat mengubah keyakinan-keyakinan negatifnya, serta dapat melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan sehari-hari. Terapis dan klien mencari perilaku apa yang tepat secara budaya, dan klien membuat keputusan mengenai kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan asertif tersebut.
Dengan mempelajari dan mempraktikkan perilaku dan komunikasi yang asertif, klien akan mengalami peningkatan power. Dengan teknik ini, klien akan belajar mengenai bahwa ia berhak meminta apa yang ia inginkan dan butuhkan. Terapis juga perlu membantu klien untuk mengevaluasi dan mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi perilaku asertifnya, yang mungkin berbentuk kritik atau ia mendapatkan apa yang diinginkannya.

g.      Reframing dan relabeling
Seperti juga biblioterapi, self-disclosure, dan assertive training, reframing bukanlah teknik yang hanya dilakukan oleh terapi feminis.Terdapat keunikan dalam reframing versi feminis ini.Reframing bisa berbentuk pengalihan dari “menyalahkan korban” menjadi menyadari faktor-faktor sosial dalam lingkungan yang berkontribusi pada masalah klien.Dalam reframing, daripada bersusahpayah membahas faktor-faktor intrapsikis, fokus lebih baik diarahkan untuk menguji dimensi-dimensi sosial dan atau politik. Adapun Relabeling adalah intervensi yang dilakukan dengan mengubah label atau cara mengevaluasi karakteristik perilaku tertentu.

h.      Aksi sosial (social action)
Aksi sosial atau aktivisme sosial merupakan hal yang esensial dalam terapi feminis (Enns, 2004).Ketika klien sudah memiliki banyak pemahaman mengenai feminisme, terapis dapat menyarankannya agar terlibat dalam aktivitas-aktivitas seperti menjadi relawan lembaga pusat krisis korban perkosaan, melobi pembuat kebijakan, atau menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pencerahan gender pada masyarakat.Partisipasi dalam segenap aktivitas tersebut dapat dapat memberdayakan klien dan membantunya melihat hubungan antara pengalaman pengalaman-pengalaman personalnya dengan konteks sosiopolitik di masyarakat.

i.        Bergabung dengan group work
Group work menjadi populer sebagai cara bagi para wanita untuk mendiskusikan kurang dihargainya suara mereka dalam berbagai aspek di masyarakat. Secara historis, group work telah digunakan dalam rangka penyadaran (consciousness-raising) dan memberikan dukungan kepada para wanita.Kelompok consciousness-raising adalah kelompok yang pertama kali memfasilitasi para wanita untuk berbagi pengalaman ditekan dan tidak berdaya.Dengan cepat kelompok ini kemudian berubah menjadi kelompok self-help yang memberdayakan para wanita dan menantang pola-pola sosial saat itu.Terapi feminis dapat mendorong kliennya untuk bertransisi dari terapi individual ke format kelompok ini. Dengan bergabung bersama group work tersebut, klien akan menyadari bahwa ia tidak sendiri. dengan bergabung di group work,  ia akan memperoleh validasi atas pengalamannya. Kelompok ini akan menambah jaringan sosial klien, mengurangi perasaan terisolasi, dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk saling berbagi. Kelompok menyediakan dukungan di mana para wanita dapat saling berbagi dan mengekplorasi secara kritis pesan-pesan yang telah diinternalisasinya mengenai harga diri dan posisi di masyarakat. Saling keterbukaan antara anggota dan pemimpin kelompok akan menyebabkan eksplorasi diri yang lebih dalam, rasa universalitas, dan meningkatkan kohesivitas. Para anggota kelompok dapat belajar menggunakan power secara efektif dengan saling mendukung satu sama lain, mempraktikkan keterampilan-keterampilan berperilaku, mempertimbangkan aksi sosial/politik, dan dengan mengambil resiko interpersonal dalam seting yang aman.

I.       Kelebihan dan Kekurangan
1)       Kelebihan
·         Praktik terapi feminis adalah terapi yang pertama yang sensitif gender, yang kemudian memberikan pengaruh kepada teori terapi lain untuk memberikan perhatian pada perbedaan peran pria dan wanita di masyarakat.
·         Terapi feminis mempertimbangkan dampak konteks budaya dan tekanan sosial terhadap masalah klien. terapi ini memperhatikan faktor-faktor intrapsikis dan konteks sosial sebagai penyebab masalah. Tidak seperti terapi yang lain yang hanya fokus pada intrapsikis saja.
·         Terapi feminis mengusahakan kesetaraan posisi dan power antara terapis dan klien. Karena sebagian besar teori konseling/terapi memposisikan terapis lebih tinggi dari klien. Bagi terapi feminis, ketimpangan posisi tersebut akan semakin meningkatkan rasa ketidakberdayaan klien yang muncul dalam sikap ketergantungan pada terapis, rendah self-esteem, dan sejenisnya.
·         Terapi feminis menyumbangkan kontribusi penting pada dunia konseling dan psikoterapi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap teori konseling dan psikoterapi tradisional.
·         Prinsip-prinsip terapi feminis telah diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti: supervisi, pembelajaran, konsultasi, penelitian, dan sebagainya.
·         Prinsip-prinsip dan teknik-teknik terapi feminis dapat diintegrasikan dengan teori lain, serta begitu pula sebaliknya.

2)      Kekurangan
·         Terapis feminis tidak berposisi netral. Walaupun terapis menginformasikan orientasi terapi dan nilai yang dianutnya di awal terapi, bila tidak hati-hati, terapis dapat memaksakan orientasi dan nilainya tersebut pada klien.
·         Fokus terapi feminis pada konteks sosial sebagai penyebab masalah dapat membuat klien tidak bertanggungjawab atas perilakunya sendiri.
·         Terdapat banyak sekali aliran feminisme yang saling berseberangan satu sama lain sehingga juga berpengaruh pada sulitnya menemukan kata sepakat antara para pakar dan terapis feminis.
·         Konsep-konsep terapis feminis tidak sejelas konsep-konsep terapi tradisional dan terapi modern/posmodern lainnya.
·         Terapi feminis tampak lebih tepat dikatakan sebagai gerakan politik daripada sebuah.
·         Sangat sulit menemukan institusi yang secara khusus melatihkan konseling dan psikoterapi feminis. Hal ini juga berdampak pada kredensialitas para terapis yang berorientasi feminis.
·         Belum terlalu banyak penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan efektifitas terapi feminis dalam menangani masalah.